Tampilkan postingan dengan label ASSISTING CORRUPTION. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ASSISTING CORRUPTION. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Maret 2019

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN


Abstrak
Jikalau orang mendengar istilah korupsi biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang rakus menggelapkan uang, mengumpulkan komisi atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Di Indonesia tindak pidana korupsi kian merajalela, dan karena itu pula rakyat menuntut pemerintah agar bersikap terbuka dan berupaya memberantas korupsi. Dengan kata lain perlu adanya serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ?
2. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia ?


Kajian Teori
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
B. Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.

3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.
C. Sebab-Akibat Korupsi
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan-pandangan feodal yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu-muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola-pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sektor pembangunan menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi melihat pembagian sumberdaya masyarakat secara adil. Hal ini sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170), bahwa :
1. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2. Permasalahan masyarakat majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu turut membahayakan stabilitas politik.
3. Karena adanya kesenjangan diantara para pejabat untuk memancing suap dengan menyalahgunakan kekuasaannya, maka disiplin sosial menjadi kendur, dan efisiensi merosot.

Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya bisa ditelaah secara teoritis tetapi memang banyak dialami oleh masyarakat yang melemah oleh korupsi. Dan korupsi itu sendiri bisa menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Bahkan kerusakan oleh korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, mental dan akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.
Pembahasan
A. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.


B. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
2. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.
Kesimpulan
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajdi “jalan tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.

Sumber :
Sma Pembangunan satu Jalan Poras No.7 Sindang Barang Loji kota Bogor Bogor Tengah Telp.(0251)8346223 Website: www.pesatinfo-sma.com

Minggu, 30 Desember 2018

3 Faktor Mengapa di Indonesia Banyak Koruptor

3 Faktor Mengapa di Indonesia Banyak Koruptor

Tidak bisa kita pungkiri lagi, saat ini Indonesia berada pada  salah satu negara paling korup di dunia. Dan penyakit (korupsi) ini sudah ada sejak lama, entah mengapa sampai sekarang Indonesia belum juga bisa menyembuhkan penyakit kronisnya tersebut. Entah karena kurangnya moral oknum pejabat atau karena Indonesia kekurangan orang jujur
Faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia terkena penyakit korupsi ini sebenarnya cukup banyak, namun saya akan menyebutkan 3 faktor terbesarnya saja
1. PENDIDIKAN
Pendidikan (Sumber: depokpos.com)
Pendidikan (Sumber: depokpos.com)
Kita semua tahu bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penunjang maju atau tidaknya sebuah negara. Pendidikan juga bisa dijadikan sebagai faktor ada atau tidaknya koruptor di suatu negara. Kenapa bisa begitu?
Salah satu tempat menuntut ilmu adalah sekolah, sekarang coba kita lihat dengan mata kepada kita sendiri. Bagaimana kualitas pendidikan di sekolah Indonesia? Sudah meratakah? Fasilitasnya sudah digunakan dengan semaksimal mungkin? Untuk saat ini sangat disayangkan, pertanyaan-pertanyaan tersebut kita jawab dengan "Belum"
Hampir setiap pejabat pemerintah di Indonesia saat ini pasti pernah merasakan namanya duduk di bangku sekolah. Tapi pertanyaannya, kenapa mereka masih korupsi? Apakah kurangnya tahun belajar? Kurangnya buku bacaan? Atau apakah harus diadakan mata pelajaran khusus tentang politik yang di dalamnya ada bab "Hinanya menjadi koruptor"?
Saya yakin hampir setiap mereka yang korupsi waktu masih sekolah hanya diniatkan untuk mendapatkan nilai bagus, ijazah, dan pekerjaan. Padahal sejatinya setiap siswa sekolah itu seharusnya meniatkan sekolah untuk menuntut ilmu yang dengan ilmunya itu dapat memperbaiki negaranya, bukan malah merusaknya seperti koruptor lakukan
2. RASA MALU
Malu (Sumber: victorynews.id)
Malu (Sumber: victorynews.id)
Inilah suatu sikap yang sangat minim dipunyai para koruptor, yaitu "rasa malu". Kalian lihat sendiri kan betapa sumringahnya wajah para koruptor ketika ditangkap KPK. Senyuman yang terkadang menunjukkan gigi, bahkan ada yang tertawa-tawa. Mungkin 'urat malu' mereka sudah putus
Tidak ada rasa penyesalan dan rasa malu pada diri mereka, itulah yang membuat rakyat geregetan kepada mereka. Sudah mencuri uang rakyat, menikmatinya, ketika ditangkap malah cengar-cengir
Coba lihat maling-maling kecil, seperti maling motor, mobil, atau ayam. Bagaimana perlakuan rakyat kepada mereka? Bandingkan dengan maling besar seperti koruptor yang dengan uang korupsi tersebut dapat membeli puluhan mobil, ratusan motor, bahkan puluhan ribu ayam. Bukankah maling ayam dan koruptor sama-sama maling? Lalu kenapa perlakuannya berbeda? Katanya Indonesia negara hukum
Jika begini terus dan pemerintah juga tidak memberikan perlakuan tegas kepada mereka. Maka saya menyarankan agar rakyat diperbolehkan untuk mempermalukan koruptor! Entah itu membuat meme, spanduk, baliho, dll
3. HUKUMAN
Hukum (Sumber: madjongke.com)
Hukum (Sumber: madjongke.com)
Selamat datang di Indonesia. Dimana maling ayam digebuki warga, maling uang rakyat dipelihara negara
Ya, saya secara sadar menulis kata "maling uang rakyat dipelihara negara". Karena memang yang kita lihat begitu bukan?
Pemerintah memang pernah berkata "Berantas korupsi!", tapi apakah pemerintah dengan segala upaya dan programnya benar-benar memberantas korupsi? Jika iya, kenapa koruptor di Indonesia semakin banyak?
Salah satu kendalanya ada di hukuman. Jujur saja, menurut saya hukum di Indonesia itu terbilang lembek lembek keras. Lembek kepada yang kaya, keras kepada yang miskin
Jika memang benar-benar Indonesia ini negara hukum, seharusnya bisa dong membuat hukuman yang setimpal dengan kasusnya? Tidak perlu menyebut nama (karena percuma koruptor-koruptor itu sudah hilang malunya), coba deh lihat kesejahteraan koruptor-koruptor di Indonesia, walaupun di dalam sel tahanan mereka masih terlihat kaya dibandingkan rakyat menengah ke bawah. Itu karena hukum di Indonesia memang dasarnya untuk menyenangkan hati mereka. Fasilitas yang sebenarnya sama sekali tidak pantas untuk seorang maling tiba-tiba ada di lapas napi koruptor, kok bisa begitu? Apalagi kalau bukan kurang tegasnya pemerintah dan hukum yang ada
Sekali lagi, jika memang pemerintah benar-benar ingin memberantas korupsi, seharusnya perbaiki dulu hukumnya. Sesuaikan hukuman dengan tindakkan kasusnya. Dan sekali-kali jangan mau untuk disogok atau merasa kasihan dengan pejabat korup, bagaimana pun juga mereka tetap maling! Yang derajatnya sangat rendah dan sengaja untuk menghinakan dirinya sendiri!
Itu aja sih mungkin 3 faktor terbesar menurut saya kenapa di Indonesia ini masih banyak tindak korupsinya. Saya harap pemerintah bisa membaca tulisan ini dan merealisasikannya. Karena saya sebagai WNI biasa hanya bisa menyarankan atau memberikan pendapat. Saya akan melihat beberapa hari, bulan, tahun ke depan. Apakah pemerintah benar-benar bisa memberantas korupsi atau tidak.
Sumber : https://www.kompasiana.com/abayseventeen/5b9d5edcaeebe106543eaa54/3-sebab-mengapa-di-indonesia-banyak-koruptor-pemerintah-harus-baca?page=2

Rabu, 19 Desember 2018

MASALAH KORUPSI DI INDONESIA : TUGAS SIAPA?


Transisi kepercayaan di Indonesia saat ini sangat membatasi perubahan reformasi. Kita sedang menyaksikan tingkah laku dari pejabat negara yang sangat terpusat yang pernah didominasi oleh seorang penguasa yang kuat. Difusi kekuasaan yang dihasilkan terlihat pada munculnya beberapa kekuatan politik di pusat, baik lama maupun baru, dan pergeseran kekuasaan ke daerah di mana politisi lokal berkekuatan dengan otoritas baru mereka di bawah undang-undang desentralisasi mulai menampakkan diri terhadap pusat. Masyarakat atau penduduk berkembang pesat dan menciptakan kekuatan ketiga yang independen dari negara. Prosesnya tampak lebih kacau daripada dalam realitas. 

Dan elit politik telah menunjukkan kapasitas untuk bersama-sama mendorong melalui kunci reformasi kelembagaan dan ekonomi yang dipandang penting untuk stabilitas negara. Namun demikian, keadaan saat ini memungkinkan aturan informal dan insentif yang merugikan dari masa lalu untuk berkembang tanpa pemeriksaan, sementara aturan formal masih berlaku. Seiring waktu, sebagai politisi menjadi lebih berpengalaman, masyarakat lebih sadar dan waspada dalam melindungi kepentingannya, dan masyarakat lebih efektif, akuntabilitas bisa meningkat. Namun, sebagian besar demokrasi, tua dan muda, selalu merupakan pekerjaan terus berjalan, dan dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, kemauan elit untuk mengambil pandangan yang tercerahkan tentang kepentingan jangka panjang mereka, dan warga negara yang berkelanjutan serta waspada untuk memastikan akuntabilitas meningkat dan aturan hukum diterapkan. Ini adalah sebuah perjuangan dengan hasil yang tidak pasti dan risiko tergelincirnya masalah. Sementara itu, tidak dapat dihindari bahwa proses ke depan akan tampak sulit dikendalikan, dengan kemajuan atau kemunduran.

Lingkungan saat ini tampaknya tidak kondusif untuk mengurangi korupsi kemungkinan sulit berhasil. Kepentingan pribadi terlalu kuat, dan kemampuan negara untuk menerapkan reformasi terbatas. Tapi bisa menjadi solusi lokal dan didukung oleh kelompok-kelompok penekan lokal, di beberapa sektor atau sub-sektor atau di kabupaten dan kotas tertentu, atau di beberapa provinsi dengan gubernur yang reformis. Ada reformis di pemerintah yang ingin mengubah keadaannya, dan mereka membutuhkan dukungan. Ada pemimpin pemerintah daerah yang ingin membuat perbedaan, dan ada warga di mana-mana yang menegaskan hak mereka dan berbicara. 

Apakah mungkin untuk mengkatalisasi upaya ini, yang melibatkan rakyat Indonesia dimana mana? Diperlukan pendekatan dua jalur. Yang pertama adalah untuk membantu memperkuat permintaan untuk reformasi di tingkat lokal. Yang kedua adalah pemerintah pusat untuk mengejar inti program reformasi yang menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengejar inisiatif yang dilokalkan pada anti-korupsi. Bersama langkah ini akan memungkinkan ruang untuk seratus antikorupsi tumbuh di berbagai sudut provinsi/kab/kota yang bisa membuat cukup banyak momentum untuk mulai membuat perbedaan pada akuntabilitas publik. Di luar pemerintahan, semua pemain kunci yang terlibat dalam akuntabilitas harus memiliki peran kunci dalam proses ini: masyarakat, media, sektor swasta, dan mitra pembangunan.

Inisiatif baru, melalui program yang didanai oleh lembaga pembangunan internasional, diarahkan untuk membantu pemerintah provinsi, kabupaten dan kota akan memberi penghargaan kepada pemerintah yang kekurangan sumber daya dengan pendanaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan ketika mereka bersedia untuk mereformasi pemerintahan di provinsi/kabupaten/kota mereka dan mengurangi korupsi. Menetapkan jelas dan kriteria transparan untuk peningkatan akuntabilitas dan transparansi, mendorong masyarakat dan LSM untuk memantau kinerja pemerintah pusat daerah, dan memberikan sanksi ketika kriteria tidak dipenuhi, transfer anggaran pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Tolok ukur dimonitor dan kinerja dihargai atau disetujui. Hasilnya persaingan antar provinsi/kabupaten/kota untuk pemerintah pusat dapat menghasilkan hal yang baik.

Menciptakan lingkungan yang mendukung untuk anti-korupsi
Pemerintah pusat juga memiliki peran kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung untuk upaya antikorupsi. Dalam beberapa kasus, ini mungkin berarti keluar dari jalan untuk membiarkannya sesuatu terjadi. Tetapi upaya reformasi inti di pusat bertujuan untuk menciptakan lingkungan semacam itu akan termasuk:
Reformasi keuangan kampanye: Partai politik memiliki kebutuhan pendanaan yang sah untuk pemilihan umum. Kecuali jika kebutuhan ini dapat dipenuhi dalam hukum, tingginya biaya kampanye keuangan di sebuah negara seukuran Indonesia dapat mendorong binatang korupsi. Tingkat keberhasilan dalam demokrasi lain dalam mengendalikan politik uang agak rendah.

Beberapa negara telah menemukan kombinasi mekanisme yang bermanfaat. Ini termasuk sebagian pendanaan anggaran untuk pendanaan kampanye, mengurangi biaya politik partai dengan mengalokasikan slot waktu bebas dari TV dan radio tanpa waktu tambahan diizinkan, melarang penggunaan sumber daya negara untuk tujuan politik, dan mewajibkan pihak-pihak untuk siap diaudit sumber dananya, memastikan bahwa layanan masyarakat netral selama pemilihan, dan memastikan independensi komisi pemilihan.

Memperkuat akuntabilitas: Lembaga utama mendominasi lanskap pemantauan akuntabilitas di Indonesia: Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membantu orang memilih wakil mereka untuk pemerintah pusat dan daerah. Badan Pemeriksa Keuangan, auditor pemerintah,dan Mahkamah Agung yang mengepalai pengadilan, Mahkamah Konstitusi. Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan cara terbaik untuk memperkuat lembaga-lembaga ini dan membuatnya mandiri. Mendanai mereka secara memadai dan memastikan bahwa dana mereka datang langsung dari DRP/MPR daripada dari Kementerian Keuangan. Memastikan mereka dikepalai pria dan wanita dengan integritas dan kemampuan profesional.

Faktor yang paling penting mendorong tidak terjadinya korupsi adalah kegagalan anggaran pemerintah untuk cukup mendanai kegiatan pemerintah dan toleransi dari berbagai macam praktik-praktik yang dimaksudkan untuk mengatasi ketidakcukupan dana anggaran. Tidak sulit untuk mencapai akuntabilitas yang lebih besar di atas kertas. Seperti yang telah diperdebatkan. Indonesia telah membuat banyak kemajuan ke arah itu. Tetapi bagaimana akuntabilitasnya ditegakkan dalam praktik yang penting. Contoh apa yang dilakukan para menteri untuk pegawai negeri mereka ketika menyerahkan biaya pengeluaran mereka? Ini adalah tradisi yang didirikan pada awal tahapan demokrasi yang menentukan bentuk yang akan diambil dan seberapa akuntabelnya lembaga seiring waktu. Mereka adalah bagian dari mesin korupsi yang diminyaki. Apa yang bisa dilakukan untuk menggeser norma itu telah membentuk aturan-aturan informal ini dan mendorong orang untuk mengadopsi aturan formal yang ditingkatkan?

Para politisi:
Banyak akan tergantung pada kepemimpinan politik - politisi dan pembuat kebijakan di kerangka akuntabilitas. Pemimpin yang kuat memiliki visi ke mana mereka akan dibawa, keterampilan untuk membangun konsensus arah perubahan, dan keberanian untuk mengambil langkah kebijakan. Mereka memodelkan perilaku akuntabel yang baik. Pemimpin yang berkomitmen untuk peningkatan akuntabilitas akan memilih dengan hati-hati perwakilan orang-orang di pesta demokrasi, integritas dan kemampuannya laki-laki dan perempuan yang akan membentuk lembaga masa depan Indonesia.

Orang Indonesia, seperti orang di mana pun, cenderung mengharapkan banyak pemimpin. Namun di sebuah negara yang besar dan beragam seperti Indonesia dan satu di mana kepemimpinan alternatif ditekan sedemikian lama, banyak orang tidak diragukan lagi akan muncul sebagai calon pemimpin masa depan. Dan para pemimpin yang ada dapat tumbuh dalam pekerjaan mereka dan belajar untuk naik ke kesempatan itu.

Pegawai negeri:
Banyak juga akan tergantung pada bagaimana kepemimpinan mengelola layanan sipil khususnya PNS/ASN. Pelayanan sipil membutuhkan perubahan budaya yang besar karena transisi ke layanan berbasis aturan meritokratis dan orang yang melihat dirinya sebagai pelayan rakyat. Survei pegawai negeri menunjukkan korupsi itu lebih rendah ketika organisasi dikelola dengan baik, memiliki organisasi antikorupsi yang kuat nilai-nilai, memiliki manajemen personel berkualitas tinggi, dan berhati-hati untuk mengelola pengadaan dengan baik.

Kinerja manajemen dilihat oleh pegawai negeri pada umumnya lebih penting daripada gaji dalam menjelaskan korupsi. Masalah gaji, akan, bagaimana, perlu ditangani dan ditingkatkan. Prioritas pertama adalah menguraikan jaringan pembayaran yang rumit dan membingungkan kebijakan kepada ASN sehingga dapat memperkenalkan transparansi yang lebih besar, mengurangi diskresi, dan menghilangkan jaringan yang sekarang berlaku. Prioritas kedua adalah mengembangkan kompensasi berdasarkan kinerja yang dirancang dengan baik. Sangat penting untuk memastikannya bahwa eselon teratas dari layanan tersebut mendapat imbalan yang memadai. Ini kemudian akan membuka pintu membuka rekrutmen untuk semua orang Indonesia dan memastikan posisi teratas secara kompetitif direkrut dan diisi dengan bakat terbaik di negeri ini. Dirancang dengan baik dan transparan kompensasi juga akan berarti mempertahankan kontrol ketat atas ukuran layanan ASN, menghilangkan pekerja hantu dan meninjau status pekerja sementara atau honor melalui pendataan yang tepat dari layanan ASN. Reformasi komprehensif semacam itu tidak boleh ditunda di tingkat desentralisasi.

Masyarakat Umum:
Seperti yang disebutkan di atas, mengingat sifat transisi Indonesia yang sulit, bergantung pada reformasi top down tidak bijaksana. Selain itu, reformasi top down tidak mungkin terjadi kecuali ada tekanan dari bawah ke atas. Masyarakat di Indonesia sudah kuat dalam beberapa bagian. Dua badan Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul-Ulama (NU) adalah contoh organisasi massa besar dengan program sosial yang kuat dan komitmen terhadap gagasan Indonesia. Tetapi mereka telah menunjukkan kapasitas untuk bersatu dalam isu-isu kunci dan berbagi agenda antikorupsi yang kuat.
Memobilisasi orang dan memberikan suara khususnya kepada orang miskin dan rentan adalah kunci
tanggung jawab untuk masyarakat Indonesia. Sukses untuk upaya ini akan bergantung pada kemampuan masyarakat untuk memaksakan pada dirinya sendiri. Keberhasilan juga akan tergantung pada LSM mengurangi ketergantungan mereka pada sumber eksternal dalam mendanai jika mereka benar-benar organisasi independen.

Sektor Swasta:
Para koruptor di sektor swasta perlu mengubah cara mereka jika korupsi akan berakhir. Ini tidak akan mudah. Tetapi dunia berubah. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan adalah meningkatkan persaingan di semua pasar, dan sektor swasta Indonesia tidak dapat mengharapkannya bertahan hidup seperti dulu pada kekuatan jaringan dan hubungan kroni yang nyaman. Sementara pemerintah perlu mengubah insentif yang dihadapi sektor swasta melalui perbaikan hukum dan peraturan yang memastikan pasar kompetitif, termasuk untuk pengadaan pemerintah, dan penegakan hukum yang lebih baik.

Setelah membaca uraian diatas semua, tentu rakyat sekarang sangat berhadap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah lama dibentuk pemerintah dapat memberantas korupsi ke akar-akarnya. Beberapa tragedi atau kejadian besar membuat malu rakyat seperti banyaknya kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK. Bravo KPK.

Senin, 17 Desember 2018

The rise of corruption in Indonesia: whose fault?



Several mass media circulating in Indonesia in the past few days have been preoccupied with the news of the arrest of several Regional Heads involved in corruption, especially in the capture operations. Catching operations according to the author becomes an interesting topic of news because the one who is a suspect should be a pigur that must be an example and a model for the community that he dreams of.

What and who is wrong?
Of course we as citizens are very disappointed to see, hear this. Back to ourselves, who is responsible if something like this happens in our area? the voter community makes it a regional leader or because the time for nominating costs a lot so it needs to return the capital that has come out of the candidate.

Let's see together from the initial process at home that we did with children. Our children or myself feel that educating children to be honest is very difficult. However, with the religious beliefs adopted it can solve the problem with an open and transparent attitude to his wife and children. The key to honesty grows and is born from a family, father and mother will become role models for children to act and act. What is seen will be a real example in their lives so that they will be carried away in association with their peers.

In each province / district / city in all regions of Indonesia we can see the establishment of a modern trade center, where the newly literate people will be enthusiastic to visit it. The problem in these modern shopping centers is the high prices that may be difficult to reach for the weak economic community but not for those who are economically strong (prosperous). This phenomenon should be balanced with high employment so that people do not act against the law in obtaining income or income in order to support their families. The role of the regional government here is very necessary, for example by disbursing household industry assistance funds in insufficient capital. If this can be realized of course the attitude of corruption in the community can be suppressed because they already have their own business and income.

Many government programs have indeed been disbursed, examples of life skills programs for the poor. But instead of assistance, many people who received aid instead earned the money as a down payment in purchasing motorcycles instead of for their children to make ends meet.

The above happened because the government itself was not aggressive enough in socializing the use of these funds. Recipient communities arbitrarily use the money for purposes other than the initial goal of improving their own standard of living.

Let us together as good citizens to remind each other and give enlightenment to the public about the importance of knowledge. If not reminded by stakeholders, it will certainly have a negative impact on the people so that the culture of corruption cannot be lost from this beloved Indonesian land.

This paper is an author's anxiety about the problem of corruption that is difficult to eradicate in Indonesia, especially in the province of Bengkulu. How many officials have gone to prison just because they were wrong in using their power. Corruption will make the people miserable, development is hampered, the economy is disrupted, education is only used as an object, there are no extraordinary results in educating the nation's children. Finally we become a nation that is left behind or underdeveloped by other nations due to this corruption.


Jumat, 07 Desember 2018

MENCONTEK ANTARA PERLAWANAN DAN PERTEMANAN


Ketika di bangku sekolah atupun perkuliahan sering kali kita jumpai tindakan nyeleneh yang dilakukan teman-teman kita atau bahkan diri kita sendiri, seperti tindakan mencontek yang dilakukan oleh para pelajar. Tindakan tersebut dilakukan bagi mereka yang tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar, baik itu guru maupun dosen.
Tindakan mencontek ini dilakukan dengan beragam alasan. Ada yang dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan lebih memilih sikap praktis, atau faktor lupa yang disebabkan oleh kesibukan lain, atau mungkin dikarenakan budaya yang ada memang mengharuskan mereka melakukan tindakan demikian.
Mencontek tanpa disadari merupakan benih-benih dari tindakan buruk yang jika tidak ada kesadaran untuk memperbaiki, sangat mungkin mengarah ke tindakan buruk yang lebih besar di kemudian hari, seperti halnya korupsi. Namun, tampaknya proses penyadaran tersebut akan banyak terhambat oleh berbagai hal, salah satu hal terbesar yang akan menghambatnya ialah masalah budaya.
Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap keseharian kita. Berbagai kegiatan yang kita lakukan dengan menjunjung tinggi kejujuran kadang akan menemui titik jenuh yang didasarkan atas berbagai hal. Pada sebuah pengalaman pribadi, ada sebuah kejadian saya berada pada posisi tersebut yang membuat saya merasa bimbang, yaitu ketika teman kuliah saya meminta jawaban dari hasil kerja saya sendiri. Kebimbangan saya muncul dikarenakan saya sangat menghargai hasil pekerjaan saya sendiri dan tidak suka hasil pekerjaan saya disalin oleh orang lain yang tidak melakukan apapun. Di sisi lain, saya merasa kasihan, karena permintaan tersebut datang dari teman dekat saya.
Jika kita menganalisis lebih dalam terhadap pandangan saya yang kedua, sulit rasanya untuk menegakkan prinsip kejujuran seperti yang saya junjung tinggi sebelumnya, apalagi jika kita termasuk golongan yang beriman lemah. Sayakah itu? Ah, entahlah. Kedua pandangan tersebut membuat saya bimbang antara perlawanan ataukah pertemanan.
Perlawanan yang saya maksud adalah prinsip-prinsip kejujuran yang saya telah bangun, hal itu bertentangan dengan tindakan teman saya, dan tentunya jika saya memberikan hasil kerja saya kepada teman saya, itu menandakan saya telah mencederai prinsip yang telah saya bangun, prinsip yang menolak perbuatan demikian.
Namun, hal itu juga menyangkut masalah pertemanan, hubungan tersebut dapat menimbulkan penilaian jadi subjektif. Pada akhirnya saya memberikan hasil pekerjaan saya kepada teman saya secara cuma-cuma. Di kemudian hari saya baru sadar ternyata tindakan yang saya lakukan salah.
Yang telah saya sadari adalah, prinsip pertemanan yang sifatnya subjektif dan hal tersebut akan melegalkan apapun dikarenakan hubungan yang ada. Yang seharusnynya terjadi adalah adanya pembeda antara prinsip, yang harus menekankan objektifitas dengan hal-hal lain yang sifatnya subjektif. Dengan adanya hal tersebut kita akan selalu dapat berjalan pada prinsip yang kuat dan juga tetap memiliki hubungan sosial yang baik
Budaya mencontek saat ini terlihat sebagai suatu isu sepele dan tak harus diselesaikan secara khusus, karena dampak yang ditimbulkan relatif kecil dibandingkan dengan isu-isu besar seperti tindakan kekerasan, kemacetan, dan juga korupsi yang dampaknya sangat besar terhadap publik.
Namun, jika berbicara mengenai masalah-masalah besar tersebut tentunya ada akar permasalahan yang menimbulkan benih-benih terhadap masalah besar yang marak terjadi. Akar permasalahan tersebut yang telah membudaya di masyarakat kita saat ini telah menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Hasilnya, budaya yang buruk tersebut sedikit demi sedikit masuk pada konteks yang legal untuk dilakukan.
Jika ditarik sebuah garis lurus, maka mencontek dapat diposisikan pada sisi permulaan garis, dan tindakan sekelas korupsi berada pada sisi yang lain, yang ada pada akhir garis. Ini mengartikan bahwa tindakan mencontek yang dianggap remeh-temeh sebenarnya telah memberi sinyal atau ancang-ancang di kemudian hari, bahwa ia adalah akar dari masalah bangsa yang besar.
Perlu diketahui, dampak jangka panjang dari sebuah hal yang dianggap remeh-temeh itu sifatnya tidaklah segaris lurus. Mencontek bisa menjadi indikasi terhadap tindakan korupsi. Akibat yang ditimbulkan memang tak menyangkut kesejahteraan rakyat, tapi bukan tidak mungkin akan menimbulkan berbagai tindakan kriminal lainnya. Inilah alasannya saya menyebut bahwa dampak jangka panjangnya lebih mematikan dibanding dampak sesaat.
Mencontek dalam pandangan singkat memang tak ubahnya seperti menikmati mi instan, nikmat tiada banding dan seperti namanya, tak perlu susah payah untuk memasaknya. Praktis, dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat, dan ajaibnya lagi memasak mie instan dapat dilakukan oleh orang yang tingkatan memasaknya paling rendah.
Begitu pula ketika mencontek, dalam pengalaman pribadi, bahkan mencontek dapat kita lakukan dalam kondisi mendesak sekalipun. Dan dengan berbagai macam trik yang ah... saya kira Einstein pun tak dapat membayangkannya. Namun, seperti kita ketahui, segala sesuatu yang bersifat instan akan mengarah pada jalan kegagalan yang pada tingkat akhir akan menimbulkan masalah besar, masalah yang tidak kita duga bahwa penyebabnya adalah hal remeh-temeh, yang sesungguhnya ia adalah pondasi yang kuat atas masalah besar tersebut.
Kini kita tinggal memilih, menjadi orang yang melawan dengan prinsip yang kuat demi kejayaan, atau lemah prinsip karena hubungan pertemanan.

M. Dodi Al-fayed/Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber : https://www.kpk.go.id/id/berita/publik-bicara/656-mencontek-antara-perlawanan-dan-pertemanan