Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI)
Oleh : Masoed Abidin Jabbar
Tujuan PGAI seperti tercantum dalam Anggaran Dasar tahun 1921 adalah menjaga martabat, memperbaiki nasib, dan memberikan pertolongan kepada guru agama Islam, memajukan dan memperbaiki pengajaran agama Islam. Mendirikan sekolah Islam, mengusahakan kebebasan dalam pengembangan agama Islam dan lain-lain sebagainya.
Pada tahun 1929 PGAI sudah membeli tanah seluas 5,5 Ha. di Jati, Padang dan tahun berikutnya membangun Sekolah Normal Islam lengkap dengan asrama dan sebuah gedung untuk memelihara anak yatim.
Pada tanggal 1 April 1931 diresmikanlah pembukaan Sekolah Normal Islam yang dalam bahasa Arabnya disebut Kulliatal Mu'allimin Islamiah. Normal Islam merupakan sekolah lanjutan tiligkat atas, dan murid yang diterima berasal dari sekolah Sumatera Thawalib, Diniah, Tarbiah, dan lain-lain sekolah Islam yang setingkat.
Sebagai pimpinan PGAI ditunjuk Mahmud Yunus yang baru kembali dari Mesir, sebulan sebelumnya ia sudah mendirikan pula ruang pendidikan Al-Jamiah Islamiah di Sungayang Batusangkar dengan tiga tingkat, yaitu Ibtidaiah 4 tahun, Sanawiah 4 tahun, dan Aliah 4 tahun.
Sekolah Normal Islam betul-betul sudah merupakan sekolah umum yang bercorak Islam, karena dari 17 buah mata pelajaran, sekitar 12% saja mata pelajaran Islam dan bahasa Arab. Tetapi kalau dilihat dari jumlah jam pelajaran maka jam pelajaran untuk mata pelajaran agama dan bahasa Arab berjumlah 41%, mata pelajaran umum lebih banyak dari mata pelajaran agama.
Sekolah Normal Islam diasuh oleh guru yang ahli dibidang mata pelajaran agama dan bahasa Arab oleh guru didikan Mesir. Guru yang mengajarkan mata pelajaran umum diambil dari tamatan HIK atau AMS atau HBS, sekolah yang dibina oleh Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat. Dari mereka itu yang diambil hanya ilmunya saja, sedangkan kebiasaan Barat sedapat mungkin tidak diperlihatkan di dalam lingkungan Normal Islam.
Sekolah Normal Islam bertujuan memperluas pengetahuan pemuda Islam yang tamat dari Sekolah Sumatera Thawalib, Diniah, dan Tarbiah, yang telah memperoleh pengetahuan Islam dengan agak mendalam. ltulah sebabnya jumlah mata pelajaran umum lebih banyak di sekolah Normal Islam. Dengan demikian diharapkan pengetahuan mereka menjadi luas dan seimbang.
Bahasa Inggris dan Belanda juga diajarkan di Normal Islam, yang belum pernah terjadi pada sekolah Islam sebelumnya di Sumatera Barat. Dengan kemahiran bahasa Inggris dan Belanda memudahkan mereka untuk mengetahui masalah luar negeri dan mengambil manfaat dari padanya. Dengan mengetahui bahasa tersebut mereka menjadi luas mengenai masalah luar negeri. Dengan pengetahuan yang mendalam dan luas murid tamatan Normal Islam lebih mudah menyesuaikan diri dengan pergerakan kebangsaan yang sedang meningkat.
Tamatan Sekolah Normal Islam disukai dan dihormati oleh masyarakat Sumatera Barat, karena di samping menjadi guru mereka juga menjadi pemimpin masyarakat di mana mereka mengajar. Mereka tidak dicurigai oleh masyarakat, karena mereka juga orang yang taat menjalankan ajaran Islam serta ibadah dan tidak pernah melakukan hal yang dilarang agama. Mereka bersifat terbuka kepada masyarakat suka menolong, dan tidak sombong.
Alumni Sekolah Normal Islam tersebar ke daerah Indonesia, malahan sampai ke Semenanjung Melayu (Malaysia), karena ada murid yang berasal dari sana. Tamatan Sekolah Normal Islam, juga tidak ada yang menganggur dan tidak ada yang berkerja dengan pemerintah Hindia Belanda.
Satu hal yang patut ditiru oleh generasi sekarang dari Normal Islam adalah bahwa tamatannya tidak ada yang menggantungkan nasib pada pemerintah waktu itu, karena masalah tersebut telah ditekankan betul sewaktu masih belajar, baik di dalam kelas maupun di asrama. Asrama Normal Islam tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai sarana pendidikan non-formal di luar sekolah. Guru betul-betul mendidik dengan sepenuh hati, bukan hanya memompakan pelajaran, melainkan betul-betul mendidik dalam artian yang luas.
Keberhasilan tamatan Normal Islam bukan hanya pada nilai ijazah saja, tetapi juga kemampuannya untuk mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada masyarakat. Penilaian masyarakat sulit memperolehnya, karena harus bekerja dahulu beberapa tahun untuk memperoleh penghargaan masyarakat. Tugas tamatan Sekolah Normal Islam di samping guru juga merupakan tokoh pembaharu muda dalam kehidupan masyarakat, dan pelopor pergerakan nasional.
PGAI selain menyelenggarakan Sekolah Normal Islam juga bergerak di bidang pembinaan anak yatim. Pada tahun 1931 dibuka tempat pemeliharaan anak yatim yang tempatnya berdekatan dengan Sekolah Normal Islam. Para pengurus PGAI tergugah hatinya melihat banyaknya anak yatim yang terlantar, dan tidak mendapat pendidikan. Menurut ajaran agama Islam anak yatim harus dipelihara dengan sebaik-baiknya dan mendapat bimbingan seperti anak lainnya. Kewajiban itulah yang mendorong PGAI membangun gedung untuk menampung anak yatim tersebut.
Anak yatim itu diajar membaca, menulis, berhitung, membaca AI-Quran, dan kerajinan tangan. Pendidikan disesuaikan dengan tingkat kecerdasan anak tersebut. Bagi anak yang sudah cukup umur masuk sekolah dikirirnkan ke sekolah Islam, seperti lbtidaiyah, Sanawiah dan sejenisnya.
Untuk menyelenggarakan rumah yatim ini PGAI mendapat bantuan tetap dari pemerintah Hindia Belanda setiap bulannya. Pengelolaan anak yatim itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu lembaga pendidikan formal dengan kurikulum dan perlengkapan yang sudah disediakan sebelumnya. Namun demikian, pendirian rumah pemeliharaan anak yatim adalah untuk mendidik anak yang tidak mempunyai orang tua, supaya mendapat layanan pendidikan seperti anak lainnya. Pendidikan diberikan secara Islam, sebagai usaha pendidikan Islam.
PGAI tidak hanya bergerak di bidang pendidikan menengah, tetapi juga di bidang pendidikan tinggi. Tanggal 9 Desember 1940 di Kompleks PGAI Jati, Padang, didirikan pula dua fakultas, yaitu fakultas Syariah (Agama) dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Staf pengajar diambil dari orang yang ahli di bidangnya, misalnya Syekh lbrahim Musa Parabek mengajar llmu Agama Islam; Mr. Abu Bakar Jaar mengajar llmu Kemasyarakatan; S.M. Latief mengajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab yang dikoordinir oleh Mahmud Yunus.
Para pemimpin Islam yang tergabung dalam PGAI menyadari betul bahwa perbaikan nasib suatu bangsa hanya dapat dilakukan oleh bangsa itu sendiri, pendidikan bukan saja memperluas pandangan tetapi juga akan dapat merubah cara berpikir yang penting untuk menghadapi hidup. Melalui pendidikan mereka akan diajar berpikir menurut logika dan akan menjauhi hal yang tidak masuk akal, kecuali yang berhubungan dengan kepercayaan agama.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka pada tahun 1940 PGAI mendirikan Sekolah Islam Tinggi dengan dua fakultas. Mahasiswa kedua perguruan tersebut dipersiapkan menjadi guru agama Islam pada sekolah Islam yang tersebar di daerah Sumatera Barat.
Sekolah Islam Tinggi juga bertujuan memasukkan nafas Islam dalam pergerakan nasional Indonesia di Sumatera Barat. Mereka juga dipersiapkan menjadi pemimpin yang dapat membawa rakyat mencapai tujuan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, dengan berlandasan Islam.
Sekolah lslam Tinggi ini tidak dapat hidup lama, karena sewaktu Jepang menduduki Sumatera Barat, mereka tidak mengizinkan mendirikan perguruan tinggi, sekolah Normal Islam dapat jalan terus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar