Pendidikan inklusif telah menjadi agenda internasional. Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan agar semua anak tanpa kecuali dipenuhi hak sosial dan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Dalam prakteknya di Indonesia, pemerintah daerah menjadi kunci dalam peningkatan akses layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, baik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi. Oleh sebab itu dibutuhkan koordinasi yang erat antara pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan pemerintah daerah.
”Dengan koordinasi yang baik bersama pemerintah daerah, kami berharap ada dampak positif yang dapat kita lahirkan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif,” kata Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kemendikbudristek, Aswin Wihdiyanto saat membuka kegiatan Koordinasi Sosialisasi Kebijakan Pendidikan Inklusif Regional 1 yang diselenggarakan di Tangerang, 10-13 Juli 2023.
Kegiatan ini diikuti ratusan peserta yang merupakan perwakilan pemerintah daerah provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Hadir pula perwakilan BPMP dan BBPMP dari wilayah tersebut.
Aswin menjelaskan, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan oleh negara.
Ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Adapun peserta didik yang dimaksud dalam peraturan menteri diantaranya adalah siswa tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; serta tunaganda.
Untuk membantu satuan pendidikan dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan inklusif, Aswin mengajak semua stakeholder, terutama dinas pendidikan provinsi untuk saling bersinergi menyukseskan implementasi skema pendidikan inklusif. ”Kita ingin memperluas akses pendidikan yang bermutu kepada peserta didik penyandang disabilitas,” katanya.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus mengakui banyak tantangan yang dihadapi dalam implementasi pendidikan inklusif. “Kalau di pendidikan khusus itu kan skemanya sudah terpola, nah di skema pendidikan inklusif ini yang masih banyak tantangannya. Sementara di sisi lain pendidikan inklusif itu seharusnya menjadi akses paling dekat untuk anak-anak penyandang disabilitas,” ujar Aswin.
Untuk itulah, lanjutnya, diperlukan koordinasi yang baik agar persoalan-persoalan yang dihadapi di lapangan bisa didiskusikan kemudian dicarikan solusinya bersama-sama. Salah satu target yang ingin dicapai oleh pemerintah yaitu meningkatkan inklusivitas yang diukur melalui skema rapor pendidikan di satuan pendidikan.
Meike Anastasia,Kapokja Inovasi dan Transformasi Sekaligus Ketua Penyelenggara Koordinasi Sosialisasi Kebijakan Pendidikan Inklusif menyampaikan, dari kegiatan ini diharapkan adanya sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pendidikan inklusif antara Kemendikbudristek dengan pemerintah daerah, serta adanya rencana tindak lanjut yang dapat disusun oleh masing-masing dinas pendidikan provinsi maupun kabupaten dan kota.
“Kegiatan ini juga menjadi ajang berbagai praktik baik antar dinas provinsi dan dinas pendidikan kabupaten kota dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di daerah masing masing,” tutupnya. (*)
sumber : https://pauddikdasmen.kemdikbud.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar