Tak sekadar peragaan busana, Jakarta Muslim Fashion Week 2023 yang digelar pada 20-22 Oktober 2022 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, kali ini turut disemarakkan oleh karya-karya dari satuan pendidikan vokasi yang mencakup sekolah menengah kejuruan (SMK), perguruan tinggi vokasi (PTV), serta lembaga kursus dan pelatihan (LKP). Hadirnya satuan pendidikan vokasi tentunya tak lepas dari karya-karyanya yang terus berpacu menjadi brand global, seiring cita-cita menjadikan Indonesia sebagai pusat fesyen muslim dunia.
Selain hadirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui karya-karya satuan pendidikan vokasi, gelaran tersebut juga didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Indonesian Fashion Chamber, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPA Kosmetika), serta Islamic Fashion Institute (IFI).
Ajang Kementerian Perdagangan Republik Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia yang dihelat bersamaan dengan Trade Expo Indonesia ke-37 ini juga diramaikan oleh serangkaian acara, yakni pameran dagang dan bincang-bincang dengan para pelaku industri fesyen.
Dari jenjang SMK, karya yang tampil berasal dari SMKN 3 Malang, SMKN 7 Malang, SMKN 1 Buduran, SMKN 3 Blitar, SMK NU Banat, dan SMK Syubannul Wathon. Sedangkan dari PTV, yakni Politeknik Negeri Media Kreatif, ISWI Jakarta, ISI Denpasar, dan Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dalam sambutannya menyebutkan, bisnis fashion muslim memiliki potensi yang besar. Adapun belanja konsumen fesyen muslim global pada 2014 diestimasi mencapai US$311 juta.
Di dalam negeri, perkembangan industri ini juga tumbuh signifikan, yakni tumbuh 18,2 persen pada 2021 dengan total konsumsi mencapai Rp300 triliun. Demikian juga di tahun yang sama, ekspor fashion muslim ini meningkat 12,5 persen menjadi US$4,6 miliar.
“Menyadari kita memiliki potensi dan peluang sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sewajarnya kita memiliki visi menjadi pusat fesyen muslim global,” ujar Wapres Ma’ruf Amin yang juga berkesempatan membuka ajang bergengsi tersebut (20/10).
Tak ketinggalan, Wapres juga mengajak para desainer untuk memakai kain negeri sendiri, semisal tenun, batik, dan songket, agar dapat mendunia. “Saya berharap lebih banyak lagi penggunaan produk-produk dalam negeri, utamanya dari UMKM,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kiki Yuliati, menyebutkan bahwa JMFW 2023 merupakan ajang yang selaras dengan pendidikan vokasi. “Inilah talenta bangsa yang dihadirkan oleh satuan pendidikan vokasi melalui hasil karya dalam bentuk fesyen yang berkaitan dengan tema muslim,” ujar Kiki.
Selaras dengan kebijakan Ditjen Pendidikan Vokasi yang turut berkontribusi bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM), tambah Kiki, ajang ini juga turut membuktikan bahwa pendidikan vokasi juga memanfaatkan teknologi. “Kami menyebutnya Mahakarya Adibusana Vokasi,” jelasnya.
Dirjen Kiki pun menjelaskan, selain menyiapkan SDM dan ilmu pengetahuan, ragam produk yang dihasilkan pendidikan vokasi harus dikerjasamakan dengan industri. “Kami menyajikan teaching factory di satuan pendidikan vokasi dan Kedaireka yang mempertemukan satuan pendidikan vokasi dengan pelaku industri,” terangnya.
60 Koleksi Siap Tampil dari Verond hingga Tiga Negeri
Tercatat, sebanyak 60 busana muslim hasil rancangan peserta didik dari satuan pendidikan vokasi siap meramaikan gelaran JMFW kali ini. Keterlibatan ini sekaligus menunjukkan kreativitas dan inovasi para peserta didik vokasi guna mendukung kemajuan industri fesyen muslim di Indonesia.
Di panggung JMFW 2023, masing-masing satuan pendidikan vokasi akan menampilkan enam karya dari koleksi busana rancangan para siswa atau mahasiswa. Koleksi-koleksi tersebut sebelumnya sudah melalui proses kurasi yang sangat ketat oleh para kurator yang berasal berbagai lembaga yang kompeten, seperti Leny Agustin dari Indonesia Fashion Chamber (IFC).
Tampilnya satuan pendidikan vokasi, semisal SMKN 3 Malang yang hadir dengan koleksi bertajuk VERÖND. Verӧnd diambil dari bahasa latin yang mempunyai arti terasering, yakni suatu sistem pertanian di daerah pergunungan yang memiliki kawasan miring. Tujuannya, untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dan memperbesar resapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang.
Alhasil, desain pun tercipta via pengaplikasian potongan-potongan kain yang ditata sehingga membentuk kontur terasering. Busana ini menyasar pangsa pasar bagi kaum perempuan kalangan menengah atas berusia 17-35 tahun yang tinggal di perkotaan yang memiliki suhu dingin.
Adapun SMKN 1 Buduran menyajikan koleksi bertajuk Playful Comfort. Busana yang nyaman dipakai untuk bepergian ini memilih warna abu-abu, peach, dan orange yang memberikan kesan chic and playful untuk remaja. Dengan desain comfort casual, busana ini didukung dengan sentuhan etnik kain lurik sebagai hiasan patchwork yang memanfaatkan perca kain.
Sementara itu, koleksi Beauty of Stack dihadirkan Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta. Busana ready to wear ini dirancang berdasarkan permasalahan yang ada di dunia fesyen, salah satunya adalah limbah produksi (perca kain). Busana yang dirancang menggunakan konsep sustainable fashion yang ramah lingkungan ini menggunakan material yang terbuat dari serat alam, sehingga mudah terurai dan dapat diolah kembali. Busana yang dirancang pun bertumpuk, sehingga dapat dipadupadankan dengan bagian-bagian busana lainnya.
Lain lagi dengan Universitas Kristen Maranatha yang tampil dengan koleksi batik Tiga Negeri. Ini merupakan batik yang diproses di tiga kota yang berbeda, yakni Lasem untuk warna merah, Pekalongan untuk warna biru, dan Solo untuk warna sogan/cokelat. Pemindahan lokasi untuk melakukan proses pewarnaan yang berbeda tersebut dilakukan untuk meminimalisasi biaya produksi batik pada sekitar abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Alhasil, perbedaan lokasi tersebut memiliki pengaruh pada visual. Selain pada warna, corak juga menunjukkan gaya dari ketiga lokasi, sehingga memunculkan nama tiga negeri. Konsep dari perbedaan “negeri” tersebut kemudian digabung dengan tren forecasting “CO-EXIST” dengan tema Survivor dan sub tema thrifty chic.
Koleksi busana tiga negeri diterjemahkan juga dengan pemanfaatan pakaian bekas yang disumbangkan dari berbagai latar belakang orang yang berbeda, sesuai dengan “negeri” yang berbeda. Karena pakaian bekas datang dari beragam usia, maka koleksi ini ditujukan bagi jangkauan usia yang lebih besar, yakni 20-50 tahun. Pakaian bekas dengan material denim tersebut kemudian dipadukan dengan kain-kain batik tulis tiga negeri yang cacat produksi, sehingga disumbangkan untuk pembuatan koleksi ini. (Humas SetDitjen Pendidikan Vokasi/Andrew Fangidae/Denty.A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar