Kebijakan pemerintah Indonesia menempatkan Daerah sebagai objek pembangunan dengan diterbitkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari UU Nomor 32 tahun 2004 menjadi landasan yuridis pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam beberapa tahun setelah reformasi diimplementasikan dalam berbagai hal termasuk pemerintahan yang menganut sistem otonomi daerah masih menunjukkan pelaksanaan belum optimal. Dalam pelaksanaan otonomi daerah masih menunjukkan rendahnya sistem pengelolaan keuangan maupun barang/aset di Pemerintahan Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota. Hal ini disebabkan karena lemahnya pengelolaan keuangan (perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pertanggungjawaban dan pengawasan) yang mengakibatkan munculnya indikasi korupsi, pemborosan, dan adanya berbagai macam pungutan liar (tanpa Peraturan Daerah) yang justru membuat upaya pertumbuhan perekonomian daerah menjadi lambat.
Dalam artikel ini akan difokuskan pada tema perencanaan/penganggaran karena ada suatu istilah “Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan”. Anggaran bagi suatu pemerintahan merupakan alat pengendali dari program dan kegiatan yang telah direncanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai pembukaan UUD 1945.
Dalam menyusun perencanan dan penganggaran masih banyak kelemahannya, yaitu :
- Belum adanya Standar Analisa Biaya (SAB) sehingga dalam penyusunan anggaran ditetapkan dengan asumsi, yaitu anggaran pendapatan dianggarkan lebih rendah, sedangkan anggaran belanja dianggarkan lebih tinggi, disamping tidak sesuai dengan Standar Harga Satuan Dasar (SHSD),
- Penganggaran ditentukan berdasarkan alokasi anggaran pada masing-masing SKPD tanpa ada usulan belanja Program/Kegiatan terlebih dahulu dari SKPD,
Anggaran hanya bersifat “copy-paste” dari tahun sebelumnya tanpa merinci/breakdown Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang ditetapkan setiap 5 (lima) tahun sekali ke Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang disusun setiap tahun, sehingga seringkali tidak sinkron, sehingga ada kecenderungan dokumen RPJM atau Rencana Strategis (Renstra) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD atau Rencana Kerja (Renja) SKPD. Hal ini disebabkan kuantitas maupun kualitas tenaga perencana di SKPD masih terbatas. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak bersifat strategis,
Tidak adanya sikronisasi antara perencanaan kebutuhan barang dengan penganggaran, misal anggaran pengadaan barang/jasa tanpa ada rencana kebutuhan barang atau rencana kebutuhan pemeliharaan barang,
Belum adanya partisipasi dari rakyat (bottom up) karena Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) hanya digunakan untuk program sosialisasi tanpa adanya upaya penajaman rencana program / kegiatan dari pemerintah (top down),
Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD, misalnya perencanaan pengembangan pariwisata disuatu daerah harus didukung oleh perencanaan seluruh SKPD
Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat, dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang, misal jadwal reses atau pelaksanaan fungsi DPRD sebagai pertanggungjawaban kepada konstituennya/pemilihnya tidak selaras dengan Musrenbang yang telah dilakukan, sehingga mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti “sinterklas” yang membagi-bagi proyek atau untuk kepentingan pribadi.
Berkaitan dengan penyebab lemahnya mekanisme penyusunan anggaran Pemerintah Daerah, maka perlu dilakukan penyusunan anggaran yang akuntabel dan transparan, sebagaimana ketentuan :
- Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu setiap Informasi Publik (informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik) bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik,
- Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Untuk memenuhi penyusunan anggaran yang akuntabel dan transparan, maka dibutuhkan e-budgeting yang merupakan salah satu bentuk aplikasi e-Government dalam bidang anggaran. e-budgeting bisa diartikan sebagai informasi data-data keuangan melalui teknologi guna membantu meningkatkan keterbukaan dan akuntabilits pemerintah. Dimana sistem ini menyangkut pengelolaan uang rakyat (public money) yang dilakukan secara transparan, efesien, rasional dan berkeadilan termasuk dalam pengertian ini adalah adil secara gender sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability).
Sedangkan reformasi anggaran tersebut (budgeting reform) itu sendiri meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Pelaksanaan e-budgeting mengacu pada pasal 391 Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa informasi pembangunan daerah dan informasi keuangan daerah, serta informasi Pemerintahan Daerah dikelola suatu sistem informasi daerah dan e-budgeting merupakan bagian dari sistem informasi daerah tersebut.
Salah satu Pemerintah Daerah yang telah menggunakan sistem e-budgetting adalah Kota Surabaya dengan sistem “Surabaya e-budgeting”, yaitu suatu sistem penyusunan anggaran di lingkungan Pemerintahan Kota Surabaya yang digunakan sebagai benchmark/pembanding dalam penerapan sistem e-budgetting karena merupakan pioner/perintis sistem e-budgetting di Indonesia dan telah berhasil dibenchmark dan diterapkan dalam penyusunan anggaran di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak Tahun 2014 dan berhasil menghemat anggaran sampai ± Rp4 Trilyun (www.cnnindonesia.com/17-2-2015). Dalam sistem ini untuk membuat sebuah anggaran, dibutuhkan komponen-komponen penyusun yang mana komponen-komponen penyusun tersebut merupakan hasil dari survey di lapangan. Komponen penyusun terdiri dari tiga jenis pengelompokan, yaitu : Standar Harga Satuan Dasar (SHSD), Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), Standar Analisa Belanja (SAB). Sistem ini dibuat secara online agar dapat diakses oleh Dinas dimanapun lokasinya dan juga dapat diakses pada saat pembahasan dengan DPRD.
Begitu banyak Pemerintah Daerah yang akan menggunakan e-budgetting sebagai sarana akuntabilitas dalam anggaran dan banyak keuntungan yang didapat dari implementasi e-budgetting, selanjutnya kapan Pemerintah Kota Bengkulu akan menerapkan e-budgetting?………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar