Merajut Keindonesiaan melalui Pengasingan
Para tokoh bangsa telah berjuang melawan kolonialisme sejak bangsa Eropa mulai melakukan praktik-praktik penjajahan yang bertujuan mengambil alih kekuasaan maupun kedaulatan wilayah Indonesia yang kala itu disebut Nusantara. Walaupun masih bersifat kedaerahan, perlawanan terhadap kolonialisme semakin meluas di wilayah Nusantara dan memberi pengaruh bagi awal pembentukan kebangsaan Indonesia. Para tokoh yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada akhirnya dihukum dengan cara diasingkan ke tempat-tempat yang jauh dari wilayah perlawanannya. Tujuan pemerintah kolonial melakukan pengasingan adalah untuk memutus pengaruh sang tokoh dari lingkungan yang mendukung perjuangannya, memberikan hukuman psykologis, dijauhkan dari orang-orang yang mencintai dan setia.
Tetapi yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah kolonial adalah justru pembuangan ini, kelak kemudian hari menjadi salah satu perajut kebangsaan. Memang pengaruh para tokoh bangsa di pembuangan tidak serta merta mengobarkan api perlawanan masyarakat di sekitar. Namun ketokohan para tokoh ini begitu mengena di hati masyarakat tempat para tokoh dibuang. Terjadilah interaksi dan kontak budaya karena pergaulan para tokoh yang diasingkan dengan penduduk lokal. Interaksi itu menimbulkan perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Kondisi ini secara perlahan-lahan menyemai perasaan sejiwa dan merasa sebagai bagian dari satu bangsa yang sama. Memiliki keinginan yang sama untuk bebas dari cengkeraman penjajahan dan muncul sebagai manusia yang merdeka. Bukti eratnya persaudaraan bisa kita saksikan sekarang salah satunya di Sumedang, tempat Cut Nyak Dien diasingkan. Warga Aceh terutama keturunan para pengikut Cut Nyak Dien menjalin persaudaraan dengan warga sekitar makam dan rumah pengasingan Cut Nyak Dien. Mereka rutin datang berziarah ke makam dan rumah pengasingan sekaligus menjalin silaturahmi dengan warga sekitar. Di Ternate, tempat Sultan Mahmud Badarudin II diasingkan, terdapat Kampung Palembang sebagai cikal bakalnya adalah keluarga dan pengikut Sultan Mahmud Badarudin II yang menyertai Sultan ke Ternate. Setelah bertahun-tahun para pendatang dari Palembang ini mendirikan perkampungan dan kawin-mawin dengan penduduk sekitar. Para tokoh di tempat pengasingan memberi kontribusi yang besar terhadap lingkungan sekitar, seperti Tuanku Imam Bonjol yang menjadi ulama tersohor di pembuangan, di Cianjur sebelum kemudian beliau diasingkan ke Ambon lalu ke Manado dan wafat di Desa Lotak dekat Manado. Pembuangan Tuanku Imam Bonjol dari Cianjur ke Ambon disebabkan adanya kekhawatiran pemerintah Belanda, karena ketokohannya memiliki potensi mengobarkan semangat perlawanan di Jawa Barat.
Tuanku Imam Bonjol tatkala berada di Cianjur termasyur sebagai seorang guru agama, dalam waktu singkat menarik minat warga Cianjur dan sekitarnya menjadi murid dan pengikut Tuanku Imam Bojol. Rakyat Cianjur dengan cepat merasa dekat dan terikat dengan sosok Imam Bonjol. Mereka memiliki persamaan sebagai rakyat tertindas dan kesamaan visi ideologi agama. Aktivitas yang dilakukan Imam Bonjol dipandang memiliki pola yang mirip dengan apa yang terjadi di Sumatera Barat, dimulai dengan kegiatan keagamaan kemudian berkembang menjadi sebuah jihad melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Tak ingin hal yang sama terulang di Cianjur, Pemerintah Hindia Belanda segera membungkam pengaruh Tuanku Imam Bonjol dengan cara memindahkan ke tempat pembuangan yang baru, yaitu Ambon. Paling tidak ada puluhan wilayah tempat pemerintah kolonial mengasinkan tokoh-tokoh pergerakan, bukan hanya para tokoh besar, tetapi juga para pemberontak-pemberontak yang luput dari catatan sejarah besar, seperti para petani di Banten yang melakukan perlawanan pada 1885.
Ambon
VOC menjadikan Ambon sebagai pusat kendali perdagangan cengkeh dan militer. Ambon juga merupakan tempat pengasingan dari beberapa tokoh yang melawan Belanda, yaitu Susuhunan Paku Buwono VI, Kiayi Mojo (kawan seperjuangan Diponegoro), dan Tuanku Iman Bonjol. Susuhunan PB VI bertahta di Surakarta pada 1823-1830. PB VI adalah pendukung rahasia perjuangan Diponegoro, oleh karena itu Pemerintah Kolonial menganggap PB VI berkomplot dengan pemberontak. Sesaat setelah Perang Diponegoro berakhir, Belanda mengambil wilayah-wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Pemerintah kolonial menginginkan wilayah Banyumas, Bagele, dan wilayah monconegoro Surakarta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan pemerintah kolonial. PB VI menentang keras keinginan Belanda tersebut karena tidak bersedia kedaulatan kerajaannya dirampas. Sikap PB VI menimbulkan reaksi keras pihak Gubernemen. PB VI ditangkap saat berziarah di makam Raja-Raja Mataram di Imogri kemudian dibawa ke Batavia selanjutnya ke Ambon pada akhir 1830 hingga akhir hayatnya. PB VI menempati sebidang tanah di daerah Batu Gajah, Ambon.
Pemerintah kolonial menyediakan bangunan sebagai tempat tinggal PB VI. Para pengiring PB VI membangun rumah bergaya arsitektur Jawa lengkap dengan pendopo, mushola, dan komplek pemakaman, konsep dasarnya hampir sama dengan letak dan fungsi ruang dalam arsitektur istana Jawa. Para pengikut Sultan berbaur dan berinteraksi dengan penduduk sekitar. Pada tahun 1849, PB VI meninggal dunia, keterangan resmi dari pihak kolonial adalah tewas akibat kecelakaan saat berpesiar ke Laut. Pada tahun 1957 jenazah PB VI dipindahkan ke pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Jenderal KGPH Jatikusumo (putra PB X, sekaligus cicit PB VI) mengungkapkan bahwa terdapat lubang seukuran peluru baker di dahi PB VI saat dilakukan pengangkatan jenazah. Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa PB VI meninggal dunia karena ditembak, bukan karena kecelakaan berpesiar di laut seperti keterangan resmi Pemerintah Kolonial.
Pemerintah Kolonial menjatuhi hukuman pembuangan di Manado kepada Kyai Mojo, salah satu pemimpin terkemuka dalam Perang Diponegoro berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal van Den Bosch pada 6 Januari 1829. Pertama-tama ia dan pengikut setianya dibuang ke Batavia melalui Pelabuhan Semarang. Sekira 10 bulan berada di Batavia, Kyai Mojo dan pengikutnya dikirim ke Ambon sebagai tempat transit pembuangan, menunggu selesainya pembangunan tempat pengasingannya di Minahasa. Kyai Mojo diperkirakan tiba di Ambon pada bulan April 1830 dan berada di Ambon sekira satu bulan kemudian melakukan perjalanan menuju Minahasa. Tuanku Imam Bonjol pun pernah merasakan Ambon sebagai tempat pembuangan sementara sebelum menuju Manado.
Banda Naira, Maluku
Banda Naira di Kepulauan Maluku, terkenal sebagai penghasil rempah-rempah. Belanda menjadikan Banda Naira sebagai basis pertahanan dengan mendirikan benteng Begica pada 1611. Selanjutnya Banda Naira menjadi salah satu tempat pengasingan para tokoh nasional yang dianggap mengancam Pemerintah Kolonial. Dr. Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Naira, Ambon karena aktivitas politiknya menentang kolonialisme terutama dalam tulisan-tulisannya yang diantaranya dimuat di harian De Express. Dr. Cipto di pengasingan aktif menyebarkan paham nasionalisme dan mempengaruhi penduduk setempat untuk berani menolak kerja rodi. Aktivitas ini dianggap membahayakan oleh pemerintah, sehingga Cipto kemudian dipindahkan ke Sukabumi pada tahun 1940. Mr. Iwa Kusuma Sumantri adalah seorang pengacara yang aktiv berorganisasi sejak masa mahasiswa pada 1918. Sebagai seorang pengacara, Iwa aktif membela kaum buruh perkebunan yang banyak mendapat penindasan. Ia aktif menyuarakan pembelaanya di berbagai media masa, diantaranya Matahari. Kritikan tajam Iwa menyebakan ia ditangkap pada 26 Juli 1929 dan dijebloskan ke penjara Medan. Aktivitas Iwa tidak berhenti di Medan, oleh karena itu di muka pengadilan Medan ia dituduh sebagai agen komunis Moskow yang menghasut untuk menngerakan pemberontakan di Medan. Pada 17 Juli 1930 ia divonis bersalah dan diasingkan ke Banda Naira. Bersama keluarga Iwa menempati sebuah rumah di Kampung Nusantara kemudian dipindahkan ke Makassar pada 1941. Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama RI dan Sutan Sjahrir pernah merasakan pengasingan di Banda Naira pada tahun 1936 - 1942. Karena aktivitas pergerakannya dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Kehadiran Hatta dan Sjahrir merekat kuat dalam memori kolektif warga Banda Naira yang terus diceritakan kepada anak cucu orang-orang yang pernah mengenal Sjahrir dan Hatta di Banda Naira. Hatta dan Sjahrir sangat peduli dengan pendidikan, sehingga membuka sekolah sore untuk anak-anak di sekitar rumah pengasingan. Salah satu muridnya adalah Des Alwi. Des Alwi mengisahkan pada masa anak-anak ia dan kawan-kawannya mengenal Hatta sebagai Om Kacamata dan Sjahrir sebagai Om Rir yang mengajarkan mereka banyak pengetahuan baru dalam sekolah sore.
Penjara Banceuy, Bandung
Ir. Sukarno aktif melakukan pergerakan melawan pemerintah kolonial menyebab ia dijebloskan ke penjara Banceuy Bandung. Ia ditangkap di rumah dr. Sujudi di Yogyakarta pada 28 Desember 1929 selepas menghadiri Kongres Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Sukarno ditangkap bersama dengan Gatot Mangkupradja. Sukarno menempati Penjara Banceuy bersama aktivis lainnya yaitu Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Soepiadinata di sel berbeda-beda. Setengah tahun kemudian Sukarno dihadapkan pada pengadilan. Sidang pertama dilakukan pada 18 Agustus 1930 – 22 Desember 1930, selama 19 kali persidangan. Ia menyusun sendiri sebuah pledoi yang diberi judul “Indonesia Menggugat”. Pledoi ini berisikan pandangan Ir. Sukarno terhadap kondisi internasional dan nasional. Juga pandangannya terhadap hukum kolonial dan kolonialisme. Pidato ini kemudian menjadi sebuah dokumen politik yang berpengaruh dalam dunia pergerakan menuju kemerdekaan. Akhirnya Bung Karno dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, sedangkan Gatot Mangkupraja, maskun, dan Soepridinata masing-masing 2 tahun 1 tahun 8 bulan, dan 3 bulan.
Penjara Sukamiskin, Bandung
Ir. Sukarno menjalani putusan pengadilan di penjara Sukamiskin. Ia dilarang bertemu dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya selama berbulan-bulan, dilarang melakukan aktivitas politik, dilarang membaca buku terutama buku politik, dan hanya diijinkan membaca buku agama. Setiap jam makan Sukarno dipisahkan dari orang-orang Indonesia akibat ketakukan Belanda terhadap Sukarno yang dapat mempengaruhi teman-teman dalam penjara untuk melakukan perlawanan. Ketakutan Pemerintah Kolonial terutama
adalah kharisma Sukarno terhadap sesame tahan politik di Sukamiskin. Selain itu ketakutan bahwa Sukarno menyebarkan ideologi dan ide pergerakan kemerdekaan kepada sesama tahanan. Atas desakan kaum pergerakan Indonesia dan sosialis Belanda Bung Karno dibebaskan pada 18 Desember 1930, dua tahun lebih awal dari vonis pengadilan. Selain Sukarno, seorang tokoh bangsa asal Sumatera Utara yaitu Benhard Wilhelm Lapian sempat mendekam di Sukamiskin pada 1947-1948 karena sikapnya melawan Belanda saat ia menjabat Residen Manado. BW Lapian aktif dalam perlawanan kepada Pemerintah Hindia Belanda, Jepang, dan bergiat dalam arus pergerakan nasional dan kemerdekaan. Salah satu sikap antikolonialisme ditunjukan dengan mendirikan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada 1933 sebagai aksi memprotes Pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan Gereja Protestan di Hindia Belanda harus dalam naungan Indische Kerk dibawah pengawasan pemerintah. Aksi heroik BW Lapian adalah keterlibatannya dalam peristiwa “Merah Putih” di Manado pada 14 Februari 1946. Peristiwa ini adalah pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang ingin direbut kembali oleh Belanda.
Bangka
Tercatat Sukarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Laksamana Suryadarma, Abdoel Gafar Pringgodigdo, Mohammad Roem, Ali Sastro Amijoyo, Assaat, Supomo pernah diasingkan di Bangka dalam waktu hampir bersamaan. Sukarno dan Agus Salim sebelum ke Bangka terlebih dahulu diasingkan di Prapat, Sumatera Utara. Para tokoh ini ditawan setelah peristiwa pendudukan Ibu Kota di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Sebelumnya meraka ditahan di Istana Kepresidenan Yogyakarta selama tiga hari. Pemerintah membatasi ruang gerak Hatta dan kawan-kawan dengan membuat kerangkeng di dalam dan di luar rumah. Saat anggota Delegasi Komisi Tiga Negara yaitu Chrichley datang berkunjung, ia kaget melihat keadaan ini, karena pihak Belanda di PPB menyatakan memperlakukan dengan baik para tahanan politik ini. Akhirnya Hatta dan kawan-kawan mendapatkan kelonggaran perlakuan selama pembuangan di Bangka. Pada 5 Februari 1949 rombongan Sukarno, Agus Salim dan kawan-kawan tiba di Muntok bergabung dengan Hatta dan kawan-kawan. Para tokoh ini terus menyusun siasat untuk melakukan pembebasan Indonesia. Bangka adalah salah satu saksi bagaimana para tokoh nasional berkonsolidasi demi kedaulatan NKRI. Pada 1949 terjadi perundingan di Pangkalpinang Pada awalnya perundigan dilakukan di Menumbing, Bangka Barat, kemudian dipindahkan ke Pangkalpinang karena banyaknya peserta perundingan. Lokasi perundingan sekarang menjadi Museum Timah di Pangkalpinang. Perundingan dihadiri oleh Sukarno-Hatta dan tokoh-tokoh yang diasingkan ke Bangka, dihadiri pula oleh anggota BFO (Bijeenkomst voor Ferderal Overleg), yaitu Mr. Soejono, Anak Agung Gde Agung, dan dr. Ateng. Kemudian bergabung utusan dari KTN yang berubah nama menjadi UNCI (United Nation Commision for Indonesia). Perundingan membicarakan mengenai bentuk Negara Indonesia di masa depan. Pihak KTN dalam perundingan di Pangkalpinang menawarkan opsi perundingan antara Indonesia-Belanda untuk membahas masalah kedaulatan Indonesia. Perundingan Pangkalpinang ini mendorong diselenggarakannya Perundingan Roem Royen, yang menandakan dibukanya jalan diplomasi dengan Belanda dalam upaya merebut kedaulatan NKRI.
Banyumas
Datuk Badiuzzaman Sri Diraja adalah pejuang Perang Sunggal dari Sumatera Utara. Perang ini agak unik dibandingkan dengan perlawanan terhadap pendudukan lainnya, yaitu tidak berunsur keagamaan atau buka perang jihad. Perang ini berlangsung selama 23 tahun dan berakir dengan ditangkapanya Datuk Badiuzzaman oada tahun 1895. Pada peristiwa ini orang Melayu bekerja sama dengan orang Karo dan orang Gayo serta Aceh. Perang ini merupakan perlawanan terhadap perampasan tanah rakyat oleh maskapai perkebunan Belanda terutama sejak dikeluarkannya kebijakan Tanam Paksa pada 1870. Tujuan utamanya adalah membentuk front rakyat yang membebaskan tanah-tanah yang dikuasai Belanda. Perlawanan terhadap maskapai perkebunan terutama Deli Maatchappij Diwali oleh Datuk Kecil. Kemudian bergabunglah Datuk Jalil, Sulong Barat dan Datuk Badiuzzaman.
Pemerintah Belanda selaku pelindung maskapai perkebunan berusaha memadamkan pemberontakan ini dengan menangkap para tokoh penggerak perlawanan. Datuk Badiuzzaman diasingkan ke wilayah Banyumas Jawa Tengah pada 1895, dijauhkan dari rakyatnya untuk menumpas pengaruh Datuk Badiuzzaman terhadap rakyat yang melakukan perlawanan. Penangkapan para tokoh ini segera melemahka mental perlawanan dan menyebabkan berakhirnya Perang Sunggal.
Batavia
Batavia atau Jakarta sekarang sejak masa Kolonial adalah pusat pemerintahan. Oleh karena itu terdapat banyak penjara di sini yang selain digunakan untuk tahanan kejahatan kriminal juga untuk para tahanan politik. Beberapa tokoh yang pernah dipenjarakan di Batavia sebagai penjara transit sebelum menuju tempat pengasingan adalah Tuanku Imam Bonjol, Sultan Badarudin, Cut Nyak Dien, HAMKA, Mohammad Hatta dan Iwa Kusuma Sumantri (Penjara Glodok), BW Lapian dan RM Kusno (Penjara Cipinang). Batavia adalah pusat Hindia Belanda, segala aktivitas pemerintahan dan ekonomi berkumpul di sini. Begitu pula dengan politik dan pergerakan menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan. Banyak surat kabar dan persyarikatan didirikan untuk menyuarakan kemerdekaan dari penjajahan. Sebagai ibukota Hindia Belanda adalah tempat saling bertemu dan interaksi antar berbagai suku dan bangsa di Hindia Belanda yang mengikuti arus jaman memperjuangkan sebuah kemerdekaan bagi bangsa dan negara.
Bengkulu
Sukarno jatuh sakit tatkala menjalani masa pembuangan di Ende. Kondisi alam dan lingkungan ternyata tidak cocok dengan Sukarno. Selain itu kondisi jauh dari sejawat perjuangan dan dijauhkan dari aktivitas pergerakan membuat batin Sukarno tertekan dan menyebabkan sakit fisik. Kabar sakitnya Sukarno terdengar hingga ke Jakarta. Mohammad Husni Thamrin salah satu anggota Volksraad mengkritik keras cara pemerintah kolonial memperlakukan Sukarno. Ia menuntut Sukarno untuk dipindahkan ke tempat yang lebih baik dan mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Atas desakan ini, Pemerintah Hindia Belanda memindahkan Sukarno dan keluarga dari Ende ke Bengkulu pada tahun 1938. Sukarno aktif dalam bidang sosial dan seni di Bengkulu, diantarnya mengajar pada sekolah Muhammadiyah yang mempertemukannya dengan Fatmawati. Interaksi Sukarno terjalin intensif dengan tokoh-tokoh organisasi khususnya Muhammadiyah di Bengkulu. Oleh karena itu semangatnya tetap terpelihara dengan baik. Sukarno juga menyalurkan ide-idenya melalui kegiatan mengajar yang dan pementasan sandiwara (tonil), yang berjudul Monte Carlo. Para seniman Bengkulu bertindak sebagai actor yang menampilkan karya Sukarno. Selain Sukarno, Sentot Ali Basya salah satu panglima Perang Diponegoro menyerah pada 1829 dan diasingkan di kota ini. Sentot mendapatkan hak istimewa dalam menjalani pembuangan, diantaranya adalah diperkenankan membawa serta keluarga dan diperbelohkan memakai surban. Pada awalnya Sentot diasingkan di Sumatera Barat, tetapi Pemerintah Kolonial mencurigai Sentot menjalin kontak dengan Kaum Padri yang tengah terlibat peperangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial kemudian memindahkan Sentot ke Bengkulu, hingga akhir hayatnya di tanah pengasingan. Makam Sentot masih terjaga di Bengkulu, menjadi salah satu penanda jejak seorang anak bangsa yang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Bengkulu nampaknya menjadi salah satu tujuan pengasingan, selain Sukarno dan Sentot, Ida Bagus Arka dari Bali sempat merasakan interniran di Bengkulu karena tindakannya melawan Belanda. Selain itu Alexander Jacob Patty dari Ambon bersama rekan-rekannya pernah menjalani pengasingan di Bengkulu. Jacob Patty adalah pendiri Sarekat Ambon. Ia dianggap sebagai tokoh politik yang berbahaya dan berpengaruh luas di Ambon.
Blora
Potjut Meurah Intan adalah istri dari Tuanku Abdul Majid seorang keluarga Sultan Aceh yang berkedudukan sebagai Kepala Pabean di Bandar Kuala Bantee. Tuanku Abdul Majid melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara meneggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati pelabuhan Aceh. Tindakannya ini menyulut kemarahan Belanda dan membuatnya ditangkap. Sebagai istri, Potjut Meurah Intan berusaha membebaskan suaminya dengan melakukan perlawanan-perlawanan didukung oleh ketiga anaknya yaitu Tuanku Muhammad Bantee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin. Sepak terjang ibu dan anak ini sempat membuat Belanda kewalahan. Tuanku Muhammad Bantee ditangkap dan dipenjara di Kutaraja, kemudian diasingkan ke Tondano Sulawesi Utara pada April 1900 hingga akhir hayatnya. Sedangkan ibu dan kedua adiknya diasingkan ke Blora berdasarkan putusan pemerintah Hindia Belanda pada 6 Mei 1905. Potjut Meurah Intan beserta kedua putranya menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar. Penduduk Blora mengenal Potjut sebagai Mbah Cut atau nenek Cut, karena usianya yang sudah tua dan dianggap sebagai sesepuh yang disegani. Hubungan antara Potjut Meurah Intan dan para pengikutnya dengan penduduk Blora diperkuat dengan perkawinan Tuanku Nurdin. Putra Potjut Meurah Intan ini menikahi seorang perempuan Blora bernama Rasiah, kemudian menikahi Jumirah pada tahun 1921, beberapa tahun setelah istri pertamanya meninggal dunia. Pada akhir masa hidupnya, Potjut Meurah Intan menjalani kehidupan yang tenang hingga wafat pada 19 September 1937 dan dimakamkan di Tegal Sari, Tegalan. Makamnya hingga kini masih terpelihara dengan baik dan menjadi penanda hubungan antara komunitas Aceh dengan Blora dan mengikat dalam satu kenangan atas diri Potjut Teuku Meurah dan para pengikutnya.
Boven Digul, Papua
Boven Digul berada di bagian timur Kabupaten Merauke. Kondisi alamnya berupa hutan lebat yang jarang disinggahi manusia. Pada awal 1900an Pemerintah Belanda melakukan ekspedisi dan menyiapakan Boven Digul sebagai kamp interniran bagi orang-orang yang secara politis memusuhi Pemerintah Hindia Belanda. Mayoritas pimpinan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging), pecahan Sarekat Islam, dan organisasi yang berhubungan dengan ISDV diasingkan ke Digul. Sekitar 1.300 orang diasingkan ke daerah ini sejak dibuka pada 1926, seperti Mas Marco Kartodikromo, Wirosoeharto, Respati dan lain-lain. Ada dua kamp di Boven Digul yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi yang dibangun oleh para tahanan. Banyak tahanan meninggal akibat ganasnya kondisi alam, terserang malaria, dimakan buaya, disiksa, atau berkelahi dengan sesama tahanan maupun tentara penjaga. Boven Digul selama bertahun-tahun menjadi ancaman mengerikan bagi para ‘pembangkang’ sejak masa kolonial hingga Orde Baru. Hatta aktif dalam pergerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme sejak menuntut ilmu di Negeri Belanda pada tahun 1921 – 1932. Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI-Baru kepanjangan dari Pendidikan Nasional Indonesia, sekembalinya menuntut ilmu pada tahun 1932. PNI-Baru merupakan partai kader yang menggembleng kadernya dengan paham dan ideologi partai dan menjadi anggota yang militan dan terdidik secara politik dengan baik. Pemerintah Hindia Belanda menangkap Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan pada 25 Februari 1934. Hatta dan Bondan sempat merasakan Penjara Glodok sebelum diasingkan ke Boven Digul pada minggu pertama Januari 1935. Ketiganya adalah aktivis pejuang pergerakan yang lantang menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Sjahrir terutama dituduh telah melakukan tindakan subversif yang berusaha menjatuhkan Pemerintah Hindia Belanda. Ia ditangkap pada tahun 1934 dan mendekam di penjara Cipinang sampai Januari 1935. Pemerintah Kolonial menjatuhi hukuman pengasingan ke Boven Digul kepada Sutan Sjahrir pada 6 Januari 1935. Sutan Sjahrir adalah salah satu Bapak Bangsa, lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Koto Gadang, Bukittinggi. Ia menjadi sejawat Hatta dalam pendirian Perhimpunan Indonesia di Belanda, sebelum kembali ke tanah air pada tahun 1931. Bersama Hatta mendirikan PNI-Baru setelah penangkapan tokoh-tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia). Semoga bermanfaat....