Kota Sukabumi memiliki perkembangan sejarah panjang yang menarik. Wilayah yang kini sudah berkembang dengan segala persoalannya ini telah melewati labirin waktu yang berliku. Dalam sejarah yang membentang selama ribuan tahun, Kota Sukabumi seolah menjadi laboratorium kehidupan, dimana setiap zaman dan generasinya telah mewariskan pergulatan kisah dan persoalan yang bisa kita ambil hikmah. Berbicara tentang Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi harus diawali dengan memaknai kembali istilah kota.
Makna Kota sebenarnya tak sekedar kesatuan administratif belaka, kota adalah tempat tinggal dengan segala infrastrukturnya, kota adalah pusat dari berbagai jaringan/network mulai dari pemerintahan, pasar, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, sehingga jika kita berbicara kelahiran Kota Sukabumi sebagai pusat jaringan kehidupan masyarakat, maka kota bukan berawal dari penetapan pemerintah, tetapi jauh dari itu kota sudah ada sejak menjadi pusat dari berbagai jaringan.
Wilayah administratif Kota Sukabumi yang kita tinggali secara luasan bukanlah bekas wilayah gemeente Soekaboemi, tetapi bekas distrik (Kawedanaan) Soekaboemi yang didalamnya ada onderdistrik (Kecamantan) Sukabumi atau sebelumnya disebut distrik Goenoeng Parang yang ditetapkan tahun 1776.
Perbatasannya lebih luas dari wilayah kota sekarang, perbatasan barat di Cimahi, perbatasan utara di Perbawati, perbatasan selatan di Wangunreja dan perbatasan timur di Cimangkok. Tahun 1882 distrik Gunung Parang ini terbagi dalam 3 onder distrik yaitu Sukabumi, Sukaraja dan Baros, kemudian tahun 1913 distrik Gunung Parang berubah nama menjadi distrik Sukabumi dengan onderdistrik Sukaraja, Baros dan Cisaat, sementara Kota Sukabumi dipersiapkan sebagai gemeente (Firmansyah:2017).
Saat ini kita mengenal batas wilayah dengan batas alam seperti sungai, bukit, gunung dan lain-lain, namun pada masa lampau terutama jaman Megalitikum, wilayah entitas ini ditandai dengan Menhir yang diinterpretasikan sebagai perkawinan langit dan bumi yang memungkinkan tempat tinggal manusia bisa dibangun. Konon keberadaan menhir memberi petunjuk kepada orang asing bahwa wilayah sekitarnya telah menjadi wilayah bertuan (Wiryomartono;1995). Dalam skup lebih kecil terutama saat menandai pembukaan sebuah kampung, budaya ini disebut ungkal biang (semacam peletakan batu pertama).
Jika kita mencoba memetakan batas entitas ini di masa Megalitikum, maka terdapat kesamaan relatif dengan batas wilayah distrik Soekaboemi. Bisa kita temukan sebelah barat ada peninggalan Menhir Batu Kabayan di Cisaat, kemudian di sebelah timur ada Menhir di Kampung Tugu Sukaraja, di sebelah selatan ada kampung Tugu di Baros meskipun menhirnya belum ditemukan tapi secara toponimi menunjukan keberadaan Menhir disitu, di sebelah utara belum ditemukan Menhir sejenis, namun kita bisa menduga bahwa wilayah ini sudah dihuni dan ditandai sejak masa lampau.
Mereka berkumpul dekat sungai-sungai mengaliri tanah yang subur terbentang dari Cisaat hingga Sukaraja. Kesuburan wilayah ini menurut Jan Casper Philips karena Gunung Parang terbentuk dari lahar yang dihasilkan ledakan perut bumi Gunung Gede. Air merupakan prasarat utama sebuah kota, bahkan kota peradaban di dunia biasanya ada di sekitar sungai yang menyediakan air untuk kehidupan.
Pada awalnya batu mendominasi hasil budaya manusia disini, kemudian masuknya pendatang dari Yunan mengenalkan budaya serta citarasa baru yaitu logam dan juga perhiasan. Dalam catatan NJ Krom tahun 1904 di Kota Sukabumi ditemukan sebuah patung perunggu Amoghapaca dengan prasasti dari raja Kartanegara dan sebuah gagang cermin berisi prasasti, benda-benda ini dimiliki Dr. Widerhold.
Masuknya para pendatang ini juga memunculkan peradaban baru yaitu terbentuknya sistem administrasi kerajaan. di Rawa Uncal Sudajaya ditemukan senjata kebesaran dari perunggu yang menunjukan adanya kerajaan dengan pasukannya. Seiring kedatangan para pendatang dari India terutama kedatangan duta keliling Dewawarman sebagai tonggak, muncullah tata pemerintahan di Tatar Sunda yang ditandai oleh munculnya Kerajaan Salakanagara dimana Sukabumi masuk menjadi bagian mandala Tanjung Kidul.
Tak ada informasi mengenai kondisi Sukabumi pada masa ini, namun di masa kerajaan Tarumanegara Raja Suryawarman dan iring-iringannya, sekitar tahun 526 M, memasuki wilayah Sukabumi untuk menuju Kendan (Nagreg) yang dihadiahkan kepada Resi Manikmaya. Sementara pada masa kerajaan Sunda sebuah prasasti bertahun 1030 M, di Cibadak beberapa kilometer arah barat Kota Sukabumi menjadi pintu masuk terkuaknya sejarah Sunda. Sejarah yang mengurai kisah yang rumit antara raja-raja Sunda dan raja Jawa, Bali bahkan Sumatera.
Munculnya kerajaan Pajajaran dengan tokoh Prabu Siliwangi yang memenuhi kisah-kisah sejarah di seantero Jawa Barat termasuk di wilayah Kota Sukabumi. Terdapat dua tempat yang konon menjadi persinggahannya yaitu Kutawesi (Kampung Kuta) dan Kutamaneuh (Gunung Guruh). Mitos-mitos tentang Prabu Siliwangi sering muncul disitu. Nama kampung Kuta (Kutawesi) masih terekam dalam peta Belanda tahun 1898 yang menunjukkan Kampung Kuta dikelilingi lima kampung Benteng dari beberapa arah, seolah menegaskan konsep kota kuno yang di kelilingi benteng (city wall).
Jikalau dugaan keberadaan Kota Benteng ini benar, maka dimungkinkan kota ini hancur saat serangan Banten ke timur pakuan. Pasca buraknya Pajajaran, pelarian dari Pakuan ke wilayah Sukabumi terbagi dua, pertama masyarakat biasa yang mengungsi ke selatan sekitar pelabuhanratu dan hutan halimun, kedua para pembesar dan prajurit lari ke arah Kota Sukabumi sekarang, Cikembar dan Jampang.
Keberadaan kuburan Mbah Terong Peot, Kandaga Lante yang bertugas membawa mahkota Binokasih ke Sumedanglarang, di Dayeuhluhur seolah menjadi bukti tentang keberadaan para prajurit ini. Gerhardus Heinrich Nagel dalam buku Schetsen uit mijne Javaansche portefeuille 1828 menyebutkan bahwa nama Gunung Parang bukan berasal dari perkakas parang tetapi berasal dari tempat yang menjadi ajang Perang (Gunung Perang).
Jika dikaitkan dengan kemunculan wilayah Gunung Guruh di era awal kolonial (Kunjungan Scipio 1687), maka dimungkinkan masyarakat Kota Sukabumi (Kutawesi) yang diserang pasukan Banten mengungsi ke wilayah Gunung Guruh (Kutamaneuh) sehingga wilayah Kota Sukabumi kosong. Kondisi ini berangsur-angsur pulih, masyarakat kembali menghuni wilayah Kota Sukabumi pasca dibukanya Babakan Gunung Parang oleh Wangsa Suta.
Kisah Legenda pada masa imperium Mataram ini seolah terlegitimasi dengan keterangan dalam kisah Volks en Volkunde tentang kisah Demang Kartala masa Mataram sebagai cutak Mangkalaya yang berkedudukan di Dayeuhluhur. Bahkan sebagian masyarakat mempercayai sebuah makam di kampung kuta yang disebut Bayah Suta sebagai makam pendiri babakan Gunung Parang bernama Embah Jaya Suta.
Pada masa Mataram hingga kolonial berdatanganlah para pendakwah Islam sehingga banyak peninggalan-peninggalan makam kuno di Kota Sukabumi baik pelarian pasukan mataram ataupu pendakwah khusus dari Cirebon dan Banten diantaranya Mama Sanyur, Syekh Mursyi, Eyang Kutawesi, Adipati Mataram, Jaya Suta, Saofidin Al Matromy, Eyang Bale Rante, Mbah Jayaprana, Eyang Kuning, Mbah Kumpul, Aliyin Aliyudin, Mama Jupri, Eyang Dalem Sakti dan Dalem Suryadiningrat.
Kedatangan bangsa Eropa yang merubah misi dagang menjadi penguasaan wilayah, menyebabkan kemunduran Mataram. Secara resmi wilayah selatan Gunung Gede hingga Basisir Kidul dikuasai maskapai dagang (VOC) pada tahun 1677, meskipun faktanya baru sepuluh tahun kemudian seorang sersan VOC (Scipio) dan Letnan Tanudjiwa (pendiri Kampung Baru Bogor) melakukan ekspedisi ke Gunung Guruh pada tahun 1687. Kemudian Gunung Parang dijadikan perkebunan tanaman komoditas Internasional yang cukup berhasil sehingga Gunung Parang menjadi sebuah distrik pada tahun 1776.
Perilaku Korup pejabat VOC akhirnya menyebabkan kekuasaan beralih ke tangan Perancis karena negeri Belanda dikuasai Perancis. Upaya VOC memindahkan sisa kekuatannya ke Pelabuhanratu berakhir sia-sia karena Daendels datang dan mengurusi administrasi dengan tangan besi. Masa Daendels merupakan tonggak masuknya kelompok kecil orang Tionghoa ke Kota Sukabumi untuk dijadikan pekerja perkebunan (Tan:1957).
Namun kemudian kekuasaan beralih ke tangan Inggris pasca serangan besar-besaran. Penyerangan yang menyebabkan Inggris hampir bangkrut itu akhirnya memberikan Ide Raffles sebagai penguasa baru untuk menjual beberapa wilayah-wilayah di Jawa kepada Swasta termasuk Sukabumi yang dijual kepada Andries De Wilde pada tahun 1813.
Penjualan inilah yang pada akhirnya mengangkat nama Sukabumi kepada khalayak pasca ditetapkannya nama yang diajukan para kokolot oleh Andries de Wilde dan dicantumkan dalam seluruh laporannya. Lambat laun para traveller yang datang ke Sukabumi serta para pejabat seperti Raffles, Joseph Arnold, Reindwardt mulai menggunakan nama Sukabumi selain Gunung Parang.
Melalui pengelolaan perkebunan yang berhasil, Cikole yang sebagai tempat tinggal Andries De Wilde menjadi pusat pengumpulan hasil perkebunan mulai dari kopi, padi, pala, lada dan Tarum/nila. Gudang-gudang kopi berjejer di sekitar jalan yang masih disebut jalan Gudang hingga sekarang. Menurut keterangan para traveller saat itu di Sukabumi sudah ada fasilitas berupa pemandian air panas dan homestay, ada juga forum pertemuan para petani yang rutin bulanan di rumah Wilde (sekarang SD kehidupan baru).
Urusan wakaf mesjid juga dibahas para imam termasuk pengiriman imam ke Mekkah untuk beribadah haji, wakaf yang dilakukan diantaranya mesjid Agung sekarang dan sebuah mesjid di Rambay. Urusan perawatan jalan menjadi perhatian Wilde, infrastruktur jalan untuk distribusi kopi diperbaiki dan membuat saluran irigasi. Status Sukabumi sebagai Vrijeland memberi keleluasaan Wilde untuk mengelola sendiri tanpa campur tangan Bupati Cianjur.
Jika ada traveller datang maka Wilde yang ditemui di Sukabumi bukan bupati Cianjur. Wilde juga melakukan Budidaya keledai dan kuda untuk kuda militer. Tahun 1821 Wilde membudidayakan Kerbau, Sapi dan Banteng, dan sapinya dikenal Sapi terbersih (Wilde:1830). Mulailah muncul urbanisasi dimana masyarakat kampung-kampung sekitar memasuki area Gunung Parang untuk mendapatkan pekerjaan ataupun untuk berdagang, ada pola baru berupa kompensasi/upah pada masa ini yang diimplementasikan Raffles.
Mulailah embrio fungsi kota terbentuk meskipun secara fisik hanya berupa kampung. Dalam skup kecil inilah kota awal secara sosial terbentuk, karena pusat administrasi Vrijeland ada disini. Ibarat kelahiran manusia yang diberi nama, kota tidak langsung lahir sebagai kota dewasa tetapi lahir dalam bentuk kecil namun memenuhi syarat kota sebagai jaringan dintaranya ketersedian air, surplus pangan, dan infrastruktur jalan (Horton dan Hunt:1990), yang dilegitimasi dengan nama bayi "Soeka Boemie" yang diusulkan masyarakat.
Beralihnya kekuasaan kepada pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Sukabumi masuk kembali kepada sistem Tanam paksa yang dicanangkan Van Den Bosch pada tahun 1830. Sebagian masyarakat lari ke selatan sehingga sebagian wilayah kota ada yang kosong (tarikolot), budaya tipar juga ditinggalkan dan tinggal nama kampungnya. Disisi lain nama Sukabumi semakin bersinar karena banyak orang-orang besar yang berkunjung ke Kota Sukabumi dan menyebut tempat ini sebagai town atau kota kecil (Basil:1893).
Meskipun secara administratif hanya berupa hoofdplaats (bale desa) sebagai ibukota distrik Gunung Parang, Sukabumi situasinya sudah seperti standar kota, sudah dibangun dengan pagar batu putih di kedua sisi jalan yang menghiasi hampir di sepanjang jalan. Saat itu di Sukabumi sudah ada yang berjualan bir, harga satu botol bir di Sukabumi lima gulden, dan transportasi utama dengan menggunakan kuda (Crockewitt:1866).
Dalam catatan resmi pemerintah juga menyebut Sukabumi sebagai Kutta. Misalnya dalam laporan polisi pada 1 November 1865 di Sukabumi, disebutkan sebagai berikut: “Dipersembahkan dengan segala hormat kehadapan Padoeka Toewan Direkteur PF Wegener, jang termadjelis di Kotta Soekaboemi (Steebrink:1988).
Lambat laun sesuai keperluan dan tonggak dihapuskannya tanam paksa maka Sukabumi dipisahkan secara Afdeling dari Cianjur dan menjadikan Kota Sukabumi sekarang menjadi Ibukota Afdeling. Perubahan ini tidak merubah status Sukabumi yang berada di bawah Kabupaten (Regentschap) Cianjur. Penataan ini juga menyambut era baru perkebunan swasta yang memerlukan tempat administrasi sekaligus tempat hiburan yang dekat. Mulailah dibangun kota kolonial awal berupa pencampuran konsep tata kota tradisional dan kolonial yang dikembangkan ahli Geografi Hp. H. Th Witkamp (Wartheim:1958).
Alun-alun menjadi pusat dengan pohon beringinnya, kemudian di selatan rumah asisten residen dan patih di sebelah timur tidak jauh dari alun-alun, sebelah barat mesjid, sebelah utara tempat hiburan bangsa Belanda dan sebelah timur tempat tinggal orang Eropa atau Tangsi militer/polisi. Dibangunlah bangunan fungsional seperti Pendopo, Penjara, Pengadilan, Mesjid Agung, Kantor Polisi bahkan penataan Alun-alun yang kemudian dipecah dengan Victoria Park yang sekarang menjadi Lapang Merdeka. Dibangun pula Kantor dan rumah Asisten Residen, kantor dan rumah Patih, selain itu kantor untuk controleur, politieopziener 1e klasse, dan bangunan lainnya.
Tak lama kemudian dibangunlah jalur kereta api yang memicu distribusi barang dan manusia dengan mudah dan cepat sehingga semakin banyak orang eropa dan lokal yang berbondong-bondong ke Sukabumi dan menjadi titik perkembangan selanjutnya yaitu Desentralisasi. Masuklah orang Tionghoa dalam jumlah besar yang awalnya hanya pekerja rel kereta api yang tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Sungai-sungai dan selokan yang banyak melintas dibuat gorong-gorong dan ditimbun. Para pelancong lebih banyak berdatangan hingga para bangsawan Eropa seperti Arthur Earle, Frank G. Carpenter, Eliza Ruhamah Scidmore, FS Kelly, George Roshenshine, William Worsfoldm Frans Ferdinand, Arthur C. Bicknell, Raja Chulalangkorn, AG Voderman, Clockener Brouson Frans Bernard, Edmond Eduard, Pangeran George II, dan Nicholas II.
Orang-orang Eropa juga menginginkan sebuah tempat yang bisa mereka untuk kongkow-kongkow dan dibangun Societeit Soekamanah yaitu Gedung Juang. Orang-orang kaya Eropa pemilik perkebunan di Sukabumi sangat dihormati, bahkan di Bandung disediakan reservasi khusus untuk mereka. Jika mereka mau belanja disebut naar boven yaitu naik ke Bandung.
Sementara orang Batavia kalo mau rekreasi disebut naar boveden alias turun ke Sukabumi bukan ke Bogor. Restoran dan toko coklat terbaik seperti Schuttavaer yang pernah dikunjungi Pakubuwono X serta raja Thailand juga tersedia disini. Pembangunan hotel Ploem, hotel Victoria. Hotel Selabintana mengantisipasi melonjaknya pengunjung kesini. Hotel Victoria jadi langganan Gubernur Jendral ada waktu weekend diantaranya O Van Rees (1884-1888) dan Pijnacker Hordijk (1888-1893). Bahkan saat Raja Thailand berkunjung ke Sukabumi semua hotel penuh hingga dia menginap di rumah seorang asisten residen. Dibangun pula Kantor dan Fasilitas umum seperti Kantor telepon dan telegraf, Pemakaman Umum Kerkhof, Klenteng, Gereja, Mesjid Agung.
Era ini ditandai pula dengan pembangunan fisik dan non fisik akibat politik etisch, munculnya sekolah-sekolah seiring munculnya cendekia dan orang profesional, Muncul orang-orang terdidik yang jadi penulis seperti Charles Du Pont, Rie Cramer ilustrator, ada pula pesepakbola Belanda G Mundt, Ahli Ekonomi dunia Gonggrijp yang disetarakan dengan Adam Smith. Kemudian dibangun irigasi dibuktikan dengan banyaknya talang air di Sukabumi pada masa lalu untuk mengalirkan air dari utara ke selatan.
Transmigrasi juga dicanangkan oleh Asisten Residen Sukabumi sehingga ada banyak nama tempat Sukabumi di Sumatera, bahkan orang Sukabumi banyak yang dikirim ke Suriname sebagai kuli kontrak. Selain itu di Kaledonia ada Taman yang dinamai oleh nama orang Sukabumi yaitu Taman Mohammad Kasim. Kota ditata berdasarkan suku bangsa Eropa dan Indo, Tionghoa dan Pribumi yang disebut politik segregasi. Masyarakat pribumi saat itu yang mayoritas Islam kemudian dianggap sebagai radikal dalam beberapa laporan, disisi lain masyarakat Eropa sangat leluasa bahkan muncul pula gerakan Freemasonry "De Hoeksteen" yang disebut masyarakat saat itu sebagai pemuja setan.
Orang Eropa semakin banyak dan mereka merasa Kota Sukabumi tidak seperti di Eropa yang tertata baik, untuk pembangunan saja harus minta persetujuan panjang hingga ke Gubernur Jendral. Inilah tonggak awal pengaturan administratif secara langsung oleh pemerintah kolonial. Aspirasi ini kemudian berkembang sehingga diputuskan status Gemeente Soekaboemi pada 1 April 1914 yang dijadikan hari lahir Kota Sukabumi.
Gemeente ini disebut sebagai Kota Eksklusif karena orang Eropa tidak mau di bawahi patih maupun Bupati lokal, bahkan disebut juga sebagai European Enclaves (Kantung Eropa) karena menjadi hunian para orang Eropa yang independen dari kekuasaan Bupati Lokal. Jika melihat perspektif hukum Tata Negara, maka Kota Sukabumi lebih dulu lahir dari pada Kabupaten Sukabumi karena lahir dari rahim Kabupaten Cianjur bukan dari Kabupaten Sukabumi yang baru ada sejak tahun 1921. Pasca menjadi gemeente inilah terjadi pembangunan besar-besaran dibawah Asisten residen yang yang disebut Soekaboemi Vooruit (Sukabumi melangkah).
Pembangunan ini melibatkan arsitek-arsitek tersohor di nusantara seperti Thomas Karsten, Aalbers, Ghijsels, Maclaine Pont. Bangunan swasta bermunculan seperti Gedung Bouw Mij (Capitol), Kantor Pos, Kantor telepon, Bioskop, Pom Bensin, Pabrik es sari petodjo, apotik gedeh, Machine Fabriek. Kemudian elektrifasi kota, pengadaan air ledeng, Pembangunan Rumah sakit Gemeente, pemasangan lampu jalan, relokasi pemukiman Tionghoa dari sekitar stasiun ke sekitar gang peda dan gang tek wat, perbaikan jalan, perbaikan gorong-gorong drainase, renovasi bangunan gewapende politie (cikal bakal sekolah polisi) dan lain-lain.
Pasca diangkat Rambounet sebagai Burgemeester, kemudian dibangun Gedung Balaikota (Stadhuis) dari bekas rumah Koh Ek tong. Pasar dimodernkan dengan gerbang indah. Gorong-gorong ditambah untuk antisipasi banjir, muncul banyak hotel dan termasuk tempat hiduran, golf, pacuan kuda hingga kolam renang seperti Hotel, Wanasari, Broderij Cramer, Prana, Hotel Pensiun dan lain-lain.
Secara adminsitratif pada tahun 1935 Kota Sukabumi dibagi menjadi wilayah utara dan selatan (Wijk A dan Wijk B). Masa ini juga ditandai dengan dikenalnya Sanatorium Selabatu sebagai tujuan wisata medis (medical tourism) seasia tenggara dan menjadi tujuan berobat orang-orang Malaysia dan Singapura. Sekolah pertanian juga menjadi tujuan anak-anak para pejabat dan bangsawan nusantara untuk belajar, bahkan bibit teh terbaik dihasilkan dari sekolah ini dan diekspor ke perkebunan-perkebunan se Asia Tenggara.
Industri Penerbangan nusantara berawal dari Kota ini juga dengan percobaan pesawat dari bambu dan kulit sapi oleh Mr Onen. Kelompok Catur (Schaakclub) juga sempat berkembang baik sehingga seorang Grandmaster belanda yang jadi juara dunia yaitu Dr. Max Euwe berkunjung ke Kota Sukabumi pada bulan September 1930, selain itu ada kunjungan juga dari Grandmaster dan juara catur keempat yaitu Alexander Alekhine pada tahun 1933. Sekolah-sekolah lain juga berkembang seperti Sekolah Sekolah Eropa, Tionghoa dan Pribumi.
Dalam bidang industri produk kayu kibodas menjadi produk home kit yang dipakai di Boven Digoel dan beberapa negara Eropa. Selain perkembangan fisik, Kota Sukabumi juga menjadi tempat Pembuangan para Pejuang nasional diantaranya Karanjalemba, Paralente dan Mahasuri dari Sulawesi Tengah, kemudian Ayahnya Buya Hamka (Haji Rasul), Dr. Tjipto Mangunkusumo, Bung Hatta dan Syahrir.
Perang pasifik pecah sesudah kegagalan perundingan di Selabintana antara Van Mook dan Kobajashi bulan September 1941. Saat Jepang masuk ke Kota Sukabumi (disebut Shi Soekaboemi) banyak bangunan-bangunan dihancurkan oleh serangan pesawat tempur Jepang. Kondisi Kota menjadi merosot karena situasi peperangan antara Jepang dan Sekutu, bahkan sempat terjadi kekacauan di Kota.
Desa Citamiang berdasarkan Bogor-Syurei tanggal 15 Nopember 1942 No. 1 dimasukkan ke dalam wilayah Shi Sukabumi. Penentangan Mr. Sjamsoedin terhadap kebijakan Jeopang dalam Chuo Sangi In ternyata menyebabkan dirinya diangkat sebagai Walikota Sukabumi. Situasi Kota labat laun teratur, kendaraan sempat tak beroperasi kemudian beroperasi kembali seperti De Zonen dengan jurusan pelabuhanratu dan Tan Lux dengan jurusan Jampang. Kota Sibuk mengurusi urusan dukungan perang yang menyengsarakan masyarakat mulai dari gerakan POETRA yang dicetuskan empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur) di Hotel Selabintana Desember 1942.
Warga Sukabumi dikirim sebagai Romusha ke Rumpin, Banten selatan dan para wanita dijadikan Jugun Ianfu. Pembangunan nyaris tidak ada hanya pembanguan Lapangan Inada tahun 1943 yang kemudian hari menjadi lapang danalaga untuk kebutuhan olahraga. Semua pengusaha diikat dalam asosiasi-asosiasi yang ujungnya diminta membantu Jepang dalam peperangan. Bioskop menjadi alat propaganda, termasuk layar tancap di alun-alun Sukabumi, bahkan ulama dikumpulkan di Pendopo Sukabumi untuk mendukung Jepang. Namun sisi positifnya Jepang mengajarkan bentuk kedisiplinan militer, serta melatih para pemuda kemiliteran yang dikemudian hari sangat berguna ketika mempertahankan kemerdekaan.
Pasca kekalahan Jepang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, masyarakat Sukabumi berkumpul di lapang Victoria (sekarang lapang merdeka) pada tanggal 1 Oktober 1945. Rakyat bergerak melakukan pengambilalihan kekuasaan, baik milik pemerintah maupun milik swasta. Perebutan kekuasaan ini menjalar ke Kabupaten termasuk mengganti pimpinan-pimpinan wilayah. Untuk Walikota Sukabumi ditetapkan Mr. Syamsudin yang juga Walikota di masa Jepang. Semua masyarakat terlibat termasuk para lulusan sekolah tentara Pembela Tanah Air.
Saat Pasukan Sekutu melewati Sukabumi dengan melanggar perjanjian, seorang pemuda lulusan PETA bernama Edi Sukardi memimpin perang Konvoi hingga dua kali mencegat tentara Sekutu. Pertempuran di kota juga terjadi seperti di Degung, sekitar alun-alun, Nangeleng dan Baros, sebagian pejuang bermarkas di Cipelang dan Kerkof. Belanda kemudian melakukan agresi bulan Juli 1947 dan menguasai kota sehingga ibukota pindah ke Nyalindung sekaligus bersama para pejabat seperti Bupati, Kepala Polisi dan para pejuang.
Banyak masyarakat yang takut kemudian mengungsi keluar kota. Belanda memaksa para pejuang untuk hengkang dari wilayah Sukabumi melalui persetujuan Renville sehingga hampir semua pejuang hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai wilayah Republik. Sementara Belanda di Kota Sukabumi membuat pemerintahan versi NICA dan memasukan Sukabumi menjadi bagian negara Pasundan. Pasca kembali ke Sukabumi para pejuang terus bergerilya, termasuk seorang tentara belanda yang membelot bernama Princen mengacau di Baros, Cisaat, Sukaraja dan Gandasoli.
Masyarakat Sukabumi mempunyai nasionalisme yang tinggi, para ibu-ibu berkirim surat kepada Bung Karno menyatakaan kesetiaan kepada pihak republik dan akhirnya secara resmi pemerintah Kabupaten dan Kota Sukabumi meminta keluar dari negara Pasundan kemudian masuk ke negara Republik Indonesia yang menginspirasi wilayah lain untuk melakukan hal yang sama. Situasi ini akhirnya menjadi pemicu dibubarkannya negara Republik Indonesia Serikat dan menjadi negara Republik Indonesia.
Sesudah Bangsa Indonesia secara penuh mendapatkan kemerdekaannya, kota Sukabumi ditetapkan sebagai Kota Kecil melalui Undang-Undang Republik Indonesia (Yogyakarta) No. 17 tahun 1950 yang meliputi wilayah "Stadsgemeente" Sukabumi dahulu yang dibagi Kecamatan utara dan Kecamatan selatan. Sementara wilayah Citamiang dikembalikan kepada kabupaten. Kota ini mulai mencoba melakukan pemulihan diantaranya sarana olahraga dibangun oleh Sekolah Polisi Negara berupa stadion sepakbola (sekaligus atletik) pada awal 1950-an (Aneka, Tahun ke III No.1 1 Maret 1952).
Tahun 1951 Walikota Afandi Kartajumena sudah mencanangkan program 5 tahun untuk modernisasi kota. Dilakukan pula pembenahan seperti Sekolah Polisi difungsikan kembali , Sekolah umum beroperasi kembali. Walikota berencana akan melakukan modernisasi besar-besaran pasca perang termasuk perbaikan beberapa bangunan yang hancur, namun rencana itu sepertinya tidak bisa terlaksana mengingat anggaran yang defisit serta gentingnya wilayah sekitar perbatasan Kota akibat Gerombolan DI/TII dan pasukan Bambu Runcing, Banyak warga Sukabumi pedalaman yang mengungsi ke saudaranya yang ada di Kota Sukabumi, warga kota enggan bepergian jauh karena takut, distribusi perdagangan juga mengalami hambatan bahkan transportasi hanya ada sampai jam 6 sore.
Pada tahun 1952 Walikota Sukabumi Raden Soebandi Prawiranata sempat melakukan modernisasi pasar-pasar dan stasiun bus, dibangun pula Balai Pengobatan. Selain itu dilakukan perbaikan alun-alun, taman, bangunan untuk pedagang, water reservoir untuk keperluan air minum (Pikiran Rakjat 5 Juli 1952). Bioskop dan pasar malam mulai ramai. Namun DI/TII terus membuat kecemasan dengan mengacau jalur transportasi termasuk membajak kereta api, membakar rumah, membunuh dan merampok toko sehingga Bung Karno berpidato di lapang Merdeka mengajak masyarakat untuk setia kepada pemerintah.
Pembangunan sangat lamban dan tertatih, pada bulan oktober 1955 Pemerintah bekerjasama dengan sebuah yayasan sempat membangun 81 rumah yang dapat dicicil selama 10 tahun. Disisi lain ada tokoh-tokoh dari Sukabumi yang berkiprah dalam politik nasional seperti seorang Tionghoa Sukabumi yang menjadi mentri kesehatan pada masa kabinet Ali Sostroamidjojo bernama Lie Kiat Teng yang menjadi mualaf dengan nama Muhammad Ali.
Pada tahun 1959 status Kota Kecil Sukabumi berubah menjadi Status Kotapraja dengan menambah desa Citamiang yang dimasukan kembali menjadi bagian Kota Sukabumi. Seiring perkembangan situasi nasional, di kota Sukabumi terjadi nasionalisasi aset-aset milik warga Belanda diantaranya Pabrik Es Sari Petodjo, Apotik Gedeh (sekarang Kimia Farma), Mineraal fabriek, GEBEO (PLN). Para pegawai berbangsa Belanda banyak yang kembali ke negri asalnya.
Pada tahun 1961, wilayah administratif Kota Sukabumi dirubah menjadi terdiri dari Kecamatan Kota Sukabumi Utara, Kota Sukabumi Selatan, Kota Sukabumi timur dan Kecamatan Kota Sukabumi Barat. Muncul tokoh-tokoh terkenal seperti pebalap sepeda nasional yang menjuarai beberapa kejuaraan internasional, Hendrick Brock dari gang rawasalak. Kemudian Lely Sampoerno seorang guru SD Mardi Yuana menjadi penembak wanita pertama dalam Asian games. Muncul pula seorang komposer lagu anak-anak Saridjah Niung yang lahir di Sukabumi.
Kemudian atlit anggar wanita dri Kota Sukabumi yang dijuluki Zorro Indonesia yaitu Zus Undapp menjuarai beberapa event Internasional. Namun perkembangan Kota Sukabumi sempat tercabik dengan peristiwa Kerusuhan Mei1963 dimana pasar dibakar, dan bangunan dan toko milik etnis tertentu dihancurkan akibat gesekan sosial. Masa ini juga merupakan saat genting akibat gerakan komunisme. Tokoh Masyumi Buya Hamka ditahan di sekolah polisi Sukabumi, kemudian dalam mahmilub ditemukan surat-surat Sudisman (anggota cc PKI) beserta denah (Plattegrond) Sekolah Polisi Sukabumi dalam arsip SBKP (Serikat Buruh Kementrian Pertahanan), faktanya pecah pemberontakan G/30/S/PKI di Jakarta (Notosusanto:1965).
Melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Sukabumi dijadikan sebagai Kotamadya dan dikepalai Walikota. Pasca kegagalan Gestapu muncul sentimen anti PKI yang berujung pada gerakan massa menangkapi tokoh-tokoh yang diduga terlibat dengan gerakan komunis. Beberapa pentolan komunis seperti Sumiyarsih yang dijuluki Dokter Lubang Buaya tertangkap di Kadudampit. Imbasnya beberapa aset milik etnis tertentu yang diduga bersimpati terhadap PKI, diambil alih massa. Peristiwa ini dianggap sebagi tonggak berakhirnya orde lama dan memasuki era orde baru.
Konsolidasi di era orde baru di Kota Sukabumi dimulai dengan membekukan gerakan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dalam munaslub KAPPI di jalan Veteran bulan Januari 1971 dan diganti dengan pendirian OSIS (Organisasi Intra Sekolah) se Indonesia di Kota Sukabumi. Situasi masih sedikit beriak dengan kasus pembunuhan seorang mahasiswa ITB yang menyebabkan demo mahasiswa disekitar Akpol Sukabumi.
Kota Sukabumi terus berkembang, dibidang olahraga Perkumpulan sepak bola PERSSI sempat berkembang, bahkan Wasit berlisensi FIFA pertama di Indonesia, Kosasih Kartadiredja adalah orang Sukabumi. Dari bidang musik muncul muisi-musisi seperti Farid Hardja, Mickey Merkelbach, Country Jack, Endar Pradesa dll. Kota Sukabumi kemudian berubah menjadi Kotamadya Daerah TK II Sukabumi melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Menjelang era baru reformasi selanjutnya Kota Sukabumi dijadikan sebagai Kotamadya dan dikepalai Walikota Kemudian berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1995 tentang perubahan Wilayah DT II Kotamadya Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi.
Sejak tahun 1996 terjadi perubahan nama kecamatan di Kota Sukabumi: Kecamatan Kota Sukabumi Utara diubah namanya menjadi Kecamatan Gunung Puyuh Kemudian Kecamatan Kota Sukabumi Timur diubah namanya menjadi Kecamatan Cikole Kecamatan Kota Sukabumi Selatan diubah namanya menjadi Kecamatan Citamiang Kemudian Kecamatan Kota Sukabumi Barat diubah namanya menjadi Kecamatan Warudoyong. Kecamatan Baros dengan sebelumnya masuk wilayah Kabupaten kemudian dimasukkan ke wilayah Kota Sukabumi. Selanjutnya berdasarkan PERDA Kota Sukabumi No. 15 Tahun 2000, wilayah Kota Sukabumi menjadi 7 kecamatan dan 33 kelurahan.
Dengan PERDA tersebut Kecamatan Baros dipecah menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu. Dan terakhir melalui UU No 32 Tahun 2003 Kota Sukabumi dinaikan levelnya menjadi Kota. Wilayah administratif Kota ini secara umum lebih mewakili distrik Sukabumi dimasa lalu dimana batas-batas kuno sudah ditancapkan oleh pendahulu kita dimasa lampau. Setiap peristiwa yang berlangsung dalam perkembangan kota ini pada akhirnya bisa kita ambil hikmah untuk menatap masa depan dengan menghindari setiap peristiwa pedih yang pernah terjadi dan menjadikan inspirasi setiap peristiwa mengagumkan dimasa lalu, untuk masa depan Kota Sukabumi yang Lebih baik.
Sumber : https://sukabumiupdate.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar