Provinsi
ACEH
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Aceh
|
Ibukota
|
:
|
Banda Aceh
|
Luas Wilayah
|
:
|
57.956,00 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
5.066.831 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jawa,
Simeuleu, Kluet, Aneuk Jamee.
Suku pendatang : Jawa, Minang, Palembang, Makassar dan lain-lain. |
Agama
|
:
|
Islam : 98,80 %, Kristen Protestan
: 0,84% Khatolik: 0,16%, Buddha : 0,18%, Hindu : 0,02%.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 18, Kota : 5, Kec.: 289,
Kel.:-, Desa: 6.474 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Bungong Jeumpa
|
Lain-lain
|
:
|
642 mukim. Mukim adalah kesatuan
masyarakat hukum dalam Provinsi NAD yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,
berkedudukan langsung dibawah kecamatan. Dipimpin oleh Imum Mukim.
|
Website:
|
:
|
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Suku Aceh merupakan salah satu suku yang
tergolong ke dalam etnik melayu atau ras melayu, dan sering diakronimkan dengan
Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (ACEH)
Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di
Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia,
yaitu Peurelak dan Pasai. Puncak kejayaan Aceh dicapai pada permulaan abad
ke-17, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa Sultan Iskandar Muda
agama dan Kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan "seuramo mekkah" (serambi
mekkah). Namun sepeninggalnya Sultan Iskandar Muda, penggantinya tidak mampu
mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut, sehingga posisinya agak melemah.
Hal ini menyebabkan Aceh menjadi incaran pihak Barat yang pada saat itu sedang
mencari daerah jajahan.
Pada abad ke 17 bangsa Portugis mulai datang, kemudian
pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh yang
disebut "Perang Sabil" atau perang sabilillah yang
berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa cukup besar, baik dipihak
Belanda yang menyebabkan tewas beberapa orang Jendralnya maupun pihak Aceh
banyak para pejuang yang gugur sebagai syuhada. Kondisi ini memaksa Sultan Aceh
terakhir, Tengku Muhd. Daud mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.
Secara umum Daerah Aceh tidak pernah ditundukkan secara
menyeluruh, sebagaimana daerah lainnya di Nusantara hingga datangnya Bala
Tentara Jepang.
Kupiah (Peci) Aceh berbentuk segi 5
(lima), adalah melambangkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang bermakna
Falsafah hidup Rakyat dan Pemerintah Daerah yang disebut PANCACITA yang terdiri
dari lima unsur.
Dacing : melambangkan
Keadilan.
Rencong : melambangkan
Kepahlawanan.
Padi, Kapas, dan Cerobong Pabrik :
melambangkan Kemakmuran.
Kubah Masjid, Kitab dan Kalam :
melambangkan Keagamaan dan Ilmu Pengetahuan.
Warna Putih :melambangkan Kemurnian.
Warna Kuning :melambangkan Kejayaan.
Warna Hijau : melambangkan Kesejahteraan
dan Kemakmuran.
Simbol kepahlawanan dan keberanian suku
bangsa Aceh adalah Rencong. Hal ini dapat kita saksikan dalam sejarah, ketika
orang-orang aceh melawan Belanda yang menggunakan senjata sangat canggih pada
masa itu, namun orang Aceh hanya menggunakan senjata tradisional yaitu rencong,
pedang dan tombak (seperti yang digunakan Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro dll).
Namun kini, keberadaan rencong bukan lagi sebagai senjata, namun telah beralih
menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat pria Aceh. Betapa rencong sudah
beralih berfungsi, sehingga yang dulunya tajam sekarang menjadi tumpul, karena
fungsinya hanya untuk penghias pada acara-acara seremonial belaka.
Masyarakat Aceh Sangat mempercayai dan meyakini akan
ajaran agamanya, yaitu Islam. Masyarakat memegang teguh keyakinan tersebut.
Masyarakat Aceh Sangat menghormati dan menghargai Para Ulama, sebagai pewaris
para Nabi. Sehingga ketundukan pada ulama melebihi ketundukan pada para
penguasa.
Upacara-upacara Adat
Perkawinan, dengan prosesi : Berinai, Khatam Quran, Mandi,
Peusijuk/Tepung Tawar.
Hamil : Intat Bu/antar Nasi untuk Wanita
Hamil/kenduri Wanita Hamil. Dengan memasak makanan-makanan yang disukai oleh
wanita hamil.
Kelahiran : Peutron Aneuk/Turun Tanah, Peucicap/suatu
ritual untuk menginginkan anak sesuai yang diharapkan, seperti dengan bercukur,
bercermin supaya cantik/ganteng, memberikan madu dengan meletakkan dibibir,
agar sianak menjadi manis.
Sunatan : Suatu upacara dalam rangka untuk sunat rasul
anak-anak yang menjelang dewasa, dengan mengundang sanak kerabat dan handai
taulan dengan memotong kerbau, kambing atau sejenis untuk kenduri/makan
bersama.
Falsafah Hidup
Masyarakat Setempat
Karong, artinya family atau saudara yang dihitung dari
keluarga ibu.
Kaom, artinya semua saudara dari pihak ayah/laki-laki dan
saudara pihak perempuan/ibu.
Hudeep Saree Matee Syahid, artinya Hidup bersama-sama atau
Mati Mulia/Syahid.
Adat Bak Po Teumeureuhom Hukom Bak Syiah Kualo, Qanun Bak
Putro Phang, Reusam Bak Laksamana artinya hukum umum ditangan pemerintah dan
hukum syari’at ditangan ulama.
Provinsi
SUMATERA
UTARA
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Sumatera Utara
|
Ibukota
|
:
|
Medan
|
Luas Wilayah
|
:
|
72.981,23 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
14.551.960 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Suku Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak/dairi, Batak
toba, Mandaling, Pesisi(Tapanuli Tengah) Nias dan Jawa.
|
Agama
|
:
|
Islam, Protestan, Katholik, Budha, Hindu dll.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab. : 25, Kota :8, Kec. : 436, Kel. : 691, Desa :
5.389 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Butet, Lisoi dan Sing-sing so
|
Website:
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Pada jaman pemerintahan Belanda,
Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement Van
Sumatera yang meliputi seluruh Sumatera yang di kepalai oleh seorang Gubernur
berkedudukan di Medan.
Sumatera Utara terdiri dari daerah-daerah administratif yang
dinamakan keresidenan. Pada Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) Provinsi
Sumatera diputuskan untuk dibagi menjadi 3 sub Provinsi yaitu sub Provinsi
Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur
dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan sub Provinsi
Sumatera Selatan.
Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948
pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 Provinsi yang masing-masing berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 selanjutnya ditetapkan
menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Awal tahun 1949 diadakan reorganisasi pemerintahan di Sumatera.
Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI
jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan
Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan
Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur yang kemudian dengan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan
ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi Sumatera Utara.
Tanggal 7 Desember 1956 diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan peraturan
pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang intinya Provinsi Sumatera Utara
wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonomi
Provinsi Aceh
Arti
Logo
Kepalan tangan yang diacungkan ke atas dengan menggenggam rantai beserta perisainya, adalah lambang kebulatan tekad perjuangan rakyat Provinsi Sumatera Utara melawan imperialisme,
kolonialisme, feodalisme dan komunisme.
Batang bersudut lima, perisai dan rantai, melambangkan
kesatuan masyarakat di dalam membela dan mempertahankan Pancasila.
Pabrik. pelabuhan, pohon karet, pohon sawit, dauntembakau, ikan. daun padi dan tulisan
"SUMATERA UTARA",melambangkan
daerah yang indah permai, mashur dengan kekakayaan alamnya yang
berlimpah-limpah.
Tujuh belas, kuntum kapas, delapan sudut sarang laba-labadan empat puluh lima butir padi menggambarkan tanggal,bulan dan tahun kemerdekaan
RI.
Tongkat di bawah kepalan tangan, melambangkan watak kebudayaan yang mencerminkan kebesaran bangsa,
patriotisme, pencinta dan pembela keadilan.
Bukit barisan yang berpuncak lima, melambangkan tata
kemasyarakatan yang berkepribadian luhur, bersemangat persatuan,
kegotong-royongan yang dinamis.
Motto Daerah ,
adalah Tekun Berkarya, Hidup Sejahtera, Mulia Berbudaya.
Nilai
Budaya
Susunan masyarakat Sumatera Utara adalah berdasarkan geneologis
teritorial seperti Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan suku Melayu
berdasarkan teritorial.
Bila ditinjau dari garis keturunan maka suku Batak dan Nias
adalah patrilinial, sedang suku Melayu adalah parental (keturunan kedua belah
pihak bapak dan ibu).
Pada masyarakat suku Batak, Nias maupun Melayu ada upacara adat
siklus kehidupan dari lahir, masa dewasa sampai kematian, seperti upacara turun
mandi, pemberian nama, potong rambut, mengasah gigi, perkawinan dan upacara
pemakaman jenazah.
Di masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan oleh anak
kepada orang yang lanjut usia (sulang-sulang). Terdapat juga upacara
penggalian/pemindahan tulang belulang kesuatu tempat atau tugu yang disebut
(mangongkal holi).
Setiap upacara-upacara adat masyarakat Batak selalu disertai
dengan pemberian Ulos dan tarian (Manortor).
Falsafah masyarakat Batak
Dalihan Natolu sebagai hukum adat Batak yang mempunyai arti tumpuan yang
tiga yang dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan
masyarakat Batak.
Dalihan Natolu meliputi :
- Dongan Sabutuha (saudara semarga).
- Hula-hula (ipar, baik adik atau kakak
laki-laki dari istri).
- Boru (keluarga dari pihak laki-laki).
Provinsi
RIAU
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Riau
|
Ibukota
|
:
|
Pekanbaru
|
Luas Wilayah
|
:
|
87.023,66 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
5.867.358 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Melayu, Minangkabau, Bugis,
Makasar, Jawa, Banjar, Batak, Mandailing, Suku Asli (Sakai, Talang Mamak,
Suku Laut, Kualam Bonai, Akit).
|
Agama
|
:
|
Islam : 4.647.864 jiwa, 88 %,
Kristen Protestan : 1.848 jiwa, 1 %, Katholik : 282.000 jiwa, 5 %,
Budha : 296.222 jiwa, 6 %, Hindu : 10.768 jiwa, 0.2 %.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 10, Kota : 2, Kec.: 163,
Kel.: 243, Desa : 1.592 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Soleram dan Langgam Melayu
|
Website:
|
:
|
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Sejarah Riau sebelum kemerdekaan lebih diwarnai riwayat kerajaan
Melayu Islam, dengan kerajaan terbesarnya Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kerajaan
yang berpusat di Kabupaten Siak ini didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rakhmad
Syah pada tahun 1725. Sultan pertama ini meninggal pada tahun 1746 dan kemudian
diberi gelar Marhum Buantan. Sepeninggal Marhum Buantan tercatat ada sebelas
sultan yang pernah bertahta di Kerajaan Siak Sri Indrapura, yaitu:
·
Sultan Abdul Jalil
Muzaffar Syah (1746-1765). Dengan memerintah selama lebih kurang 19 tahun,
Sultan kedua ini berhasil membangun Kerajaan Siak Sri lndrapura menjadi kokoh
dan kuat.
·
Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah
(1765-1766). Nama aslinya Tengku Ismail, hanya sempat memerintah selama
setahun. Masa pemerintahannya datanglah serangan Belanda yang memanfaatkan
Tengku Alam (selanjutnya menjadi Sultan ke empat) sebagai perisai. Sultan Abdul
Jalil kemudian gugur dan digelari Marhum Mangkat di Balai.
·
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(1766-1780). Sepeninggal Marhum Mangkat di Bali, Tengku Alam menduduki tahta
kerajaan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Meninggal pada tahun
1780 dengan gelar Marhum Bukit.
·
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil
Muzzam Syah(1780-1782). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Siak berkedudukan di
Senapelan atau Pekanbaru sekarang. Beliau pula yang merupakan pendiri kota'
Pekanbaru, sehingga setelah meninggal pada tahun 1782 digelari Marhum Pekan.
·
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar
Syah (1782-1784). Seperti sultan sebelumnya, Sultan Yahya juga hanya sempat 2
tahun memerintah. Meninggal pada tahun 1784 dan digelari Marhum Mangkat di
Dungun.
·
Sultan Assayaidis Syarif Ali Abdul
Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810). Sultan ketujuh ini merupakan Sultan
Siakpertama yang berdarah Arab dan bergelar Sayed Syarif Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Siak mencapai puncak kejayaannya. Meninggal pada tahun
1810 dan digelari Marhum Kota Tinggi.
·
Sultan Assayaidis Syarif Ibrahim Abdul
Jalil Khaliluddin (1810-1815). Sultan yang bernama asli Ibrahim ini meninggal
pada tahun 1815 kemudian digelari dengan Marhum Mempura Kecil.
·
Sultan Assayaidis Syarif Ismail Abdul Jalil
Jalaluddin (1815-1854). Nama aslinya tengku Sayed Ismail dan setelah meninggal digelari Marhum
Indrapura.
·
Sultan Assayaidis Syarif Kasyim
Abdul Jalil Syaifuddin (Syarif Kasyim 1,1864-1889). Meninggal tahun 1889, dan
digelari Marhum Mahkota.
·
Sultan Assayaidis Syarif Hasyim
Abdul Jalil Muzaffar Syah (1889-1908). Atas jasa dan usaha Sultan inilah
pembangunan gedung-gedung yang kini menjadi peninggalan Kerajaan Siak.
Meninggal pada tahun 1908 dan digelari Marhum Baginda.
·
Sultan Assayaidis Syarif Kasyim
Abdul Jalil Syaifuddin (Syarif Kasim II, 1915-1949). Sultan yang bernama asli
Tengku Sulong ini baru naik tahta setelah 7 tahun ayahandanya Sultan Hasyim
meninggal, sekaligus menjadi sultan terakhir Kerajaan Siak Indrapura. Karena pada
bulan Nopember 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim kawat kepada Presiden
Republik Indonesia yang menyatakan kesetiaannya kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Tidak hanya itu, Sultan juga menyerahkan harta bendanya untuk
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Arti Logo
Mata Rantai tak terputus yang berjumlah 45,
adalah lambang persatuan bangsa dan diproklamirkan pada tahun 1945, yaitu tahun
Proklamasi Republik Indonesia.
Padi dan Kapas adalah lambang kemakmuran (sandang
pangan), padi 17 butir dan 8 Bunga Kapas merupakan tanggal Proklamasi 17 bulan
8 (Agustus).
Lancang Kuning mengandung, adalah lambang kebesaran
Rakyat Riau, sedang sogok Lancang berkepala ikan melambangkan bahwa Riau banyak
menghasilkan Ikan dan mempunyai sumber-sumber penghidupan dari laut. Gelombang
lima lapis melambangkan Pancasila sebagai Dasar Negara, Republik Indonesia.
Keris berhulu Kepala Burung Serindit, adalah lambang
Kepahlawanan Rakyat Riau berdasarkan pada kebijaksanaan dan kebenaran.
Nilai Budaya
Dalam tradisi Melayu,
ada semacam ungkapan "Adat Bersendikan Syarak, dan Syarak Bersendikan
Kitabullah". Hal ini menyiratkan bahwa secara langsung atau tidak tradisi
kebudayaan melayu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam.
Adat dalam Melayu sangat diutamakan dan menjadi ukuran
derajat seseorang. Orang yang tidak tahu adat atau kurang mengerti adat
dianggap sangat memalukan dan dapat dikucilkan dari kelompok masyarakat.
Ungkapan atau cap kepada mereka yang "tak tabu adat" atau "tak
beradat". Begitu pentingnya sehingga timbul ungkapan lain, "Biar mati
Anak, jangan mati Adat". Ungkapan lainnya adalah: "Biar mati Istri,
jangan mati Adat". Semua ungkapan ini Menunjukan betapa adat-istiadat
dalam masyarakat Melayu sangat dijunjung tinggi.
"Tak kan Melayu hilang di bumi", adalah
keyakinan masyarakat Melayu Riau akan tradisi dan budayanya. Kalimat ini
diucapkan secara turun-temurun dan telah mendarah-daging bagi orang Melayu.
Sifat masyarakat Melayu yang terbuka menyebabkan
terbentuknya tradisi yang majemuk. Tradisi luar masuk ke Kepulauan Riau sejak
zaman Kerajaan Sriwijaya, saat mana budaya Melayu Kuno telah bercampur dengan
tradisi Hindu dan Budha.
Akibat perdagangan antar daerah yang berlangsung selama
puluhan tahun, masuk pula tradisi Bugis, Banjar, Minang, Jawa dan lain-lain.
Semasa masuknya Portugis ke Melaka, datang pula tradisi Sunda mewarnai tradisi
Melayu Riau.
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan Melayu Riau
yang paling menonjol, meliputi seni sastra, seni tari, seni suara, seni musik,
seni rupa dan seni teater. Seni sastra Riau terdiri dari sastra tulis (berupa
syair, hikayat, kesejarahan, kesatraan, adat istiadat dan lain-lain) dan sastra
ligan seperti pantun (pepatah, petitih, peribahasa, bidal, perumpamaan dan
lain-lain), mantra cerita rakyat, koba, kayat dan nyanyi panjang. Karya seni
sastra paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas hasil karya Raja Ali Haji.
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk adalah
bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa Indonesia. Sehingga
siapa saja yang bisa berbahasa Indonesia dapat berkomunikasi dengan orang Riau.
Di beberapa lokasi ada juga penduduk yang menggunakan bahasa daerah asalnya,
seperti bahasa Minang di pasar-pasar yang banyak dihuni pedagang asal Minang,
atau bahasa Jawa di desa-desa yang banyak penduduknya berasal dari Jawa.
Upacara Perkawinan di Riau ditandai dengan berbagai acara,
seperti : Merisik, Meminang, Menggantung, Malam Berinai, Akad Nikah, Tepung
Tawar, Berinai Lebai, Berandam, Berkhatam Qur'an, Hari Lansung/Bersanding,
Makan Bersuap-suapan, Makan Hadap-hadapan, Menyembah Mertua, Mandi Damai, Mandi
Taman dan Mengantuk atau Mengasah Gigi.
Wujud kebudayaan Melayu di Provinsi Riau sendiri sangat
majemuk. Karena letak geografisnya yang sejak dulu merupakan jalur lintas perdagangan
internasional memberi peluang terjadinya kontak budaya antara penduduk Melayu
dengan berbagai etnis lainnya.
Kontak budaya ini berlanjut dan berkembang menjadi
pembauran kebudayaan sehingga terbentuk kebudayaan yang majemuk.
Upacara-upacara
Adat
Selain Upacara
Perkawinan, ada beberapa upacara adat yang berkembang di masyarakat Riau,
yaitu:
·
Upacara Betobo, adalah kegiatan bergotong royong
dalam mengerjakan sawah, ladang, dan sebagainya.
·
Upacara Menyemah
Laut, adalah upacara
untuk melestarikan laut dan isinya, agar mendatangkan manfaat bagi manusia.
·
Upacara Menumbai, adalah upacara untuk mengambil madu
lebah di pohon Sialang.
·
Upacara Belian, adalah pengobatan tradisional.
·
Upacara Bedewo, adalah pengobatan tradisional yang
sekaligus dapat dipergunakan untuk mencari benda-benda yang hilang.
·
Upacara Menetau
Tanah, adalah upacara
membuka lahan untuk pertanian atau mendirikan bangunan.
Provinsi
JAMBI
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Jambi
|
Ibukota
|
:
|
Jambi
|
Luas Wilayah
|
:
|
50.058,16 km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
3.406.178 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Melayu, Kubu, Kerinci, dll.
|
Agama
|
:
|
Islam: 98,4%, Kristen: 1,1%, Budha: 0,36%, Hindu :
0,117%
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 9, Kota : 2, Kec.: 138, Kel.: 163, Desa :
1.398 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Injit-injit Semut dan Pinang Muda
|
Website:
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
SEJARAH BERDIRINYA PROVINSI JAMBI
Dengan berakhirnya masa
kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April
1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka
Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch
Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan
Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya
dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas
Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan
kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah
pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik
Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu
Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan
ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April
1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan
Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera
Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera
Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik
Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata
cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI
Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub
Provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10
tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun
1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri
dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah
Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan
Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala
Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan
Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap
bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali
dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci
yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera
Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Tuntutan keresidenan
Jambi menjadi daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama
antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda
Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April 1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung
Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang ketika itu berkunjung kesana. Penduduk
Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut
diwujudkan kembali dalam Kongres Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954
dengan mengutus tiga orang delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said
serta seorang penasehat delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri
Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad
setelah itu bermunculan baik oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat
Jambi 14-18 Juni 1955 di gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan
Rakyat Jambi bernama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan
memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda
se-daerah Jambi tanggal 2-5 Januari 1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan
Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari
1957 .
Sidang Pleno BKRD tanggal
6 Januari 1957 pukul 02.00 dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi menjadi
Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah
pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa
pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan
Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9
Januari 1957 menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari
1957 Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk
Bagindo sebagai acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur
Provinsi Djambi, dengan staff 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan
Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur, Manan,
Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS.
tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi
di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus
1957 Presiden RI Ir. Soekarno akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU
Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan
Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun
1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan
Riau. (UU tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun
1958 disebutkan pada pasal 1 hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi
wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin,
dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61
tahun 1958 tersebut pada tanggal 19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata
mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst
Doend DD Gubernur (residen yang ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi
dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958
meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional
Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan
UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan
sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka
tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi
Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1
Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
Adapun nama Residen dan
Gubernur Jambi mulai dari masa kolonial sampai dengan sekarang adalah sebagai
berikut :
Masa Kolonial, Residen
Belanda di Jambi adalah :
1.
O.L. Helfrich (1906-1908)
2.
A.J.N Engelemberg (1908-1910)
3.
Th. A.L. Heyting (1910-1913)
4.
AL. Kamerling (1913-1915)
5.
H.E.C. Quast (1915 – 1918)
6.
H.L.C Petri (1918-1923)
7.
C. Poortman (1923-1925)
8.
G.J. Van Dongen (1925-1927)
9.
H.E.K Ezerman (1927-1928)
10.
J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931)
11.
W.S. Teinbuch (1931-1933)
12.
Ph. J. Van der Meulen (1933-1936)
13.
M.J. Ruyschaver (1936-1940)
14.
Reuvers (1940-1942)
Tahun 1942 – 1945 Jepang
masuk ke Indonesia termasuk Jambi
MASA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Residen Jambi:
1.
Dr. Segaf Yahya (1945)
2.
R. Inu Kertapati (1945-1950)
3.
Bachsan (1950-1953)
4.
Hoesin Puang Limbaro (1953-1954)
5.
R. Sudono (1954-1955)
6.
Djamin Datuk Bagindo (1954-1957) - Acting Gubernur
6 Januari 1957 BKRD
menyatakan Keresidenan Jambi menjadi Propinsi
8 Februari 1957 peresmian propinsi dan kantor gubernur di kediaman Residen oleh Ketua Dewan Banteng. Pembentukan propinsi diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor 1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.
8 Februari 1957 peresmian propinsi dan kantor gubernur di kediaman Residen oleh Ketua Dewan Banteng. Pembentukan propinsi diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor 1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.
Sumber
data : Pemprov Jambi
Arti Logo
PENGERTIAN LAMBANG DAERAH
1.
Bidang dasar persegi lima :
Melambangkan jiwa dan semangat PANCASILA Rakyat Jambi.
Melambangkan jiwa dan semangat PANCASILA Rakyat Jambi.
2.
Enam lobang mesjid dan satu keris serta fondasi mesjid dua susun
batu diatas lima dan dibawah tujuh : Melambangkan berdirinya daerah Jambi
sebagai daerah otonom yang berhak mengatur rumahtangganya sendiri pada tanggal
6 Januari 1957.
3.
Sebuah mesjid :
Melambangkan keyakinan dan ketaatan Rakyat Jambi dalam beragama.
Melambangkan keyakinan dan ketaatan Rakyat Jambi dalam beragama.
4.
Keris Siginjai :
Keris Pusaka yang melambangkan kepahlawanan Rakyat Jambi menentang penjajahan dan kezaliman menggambarkan bulan berdirinya Provinsi Jambi pada bulan Januari.
Keris Pusaka yang melambangkan kepahlawanan Rakyat Jambi menentang penjajahan dan kezaliman menggambarkan bulan berdirinya Provinsi Jambi pada bulan Januari.
5.
Cerana yang pakai kain penutup persegi sembilan :
Melambangkan Keiklasan yang bersumber pada keagungan Tuhan menjiwai Hati Nurani.
Melambangkan Keiklasan yang bersumber pada keagungan Tuhan menjiwai Hati Nurani.
6.
GONG :
Melambangkan jiwa demokrasi yang tersimpul dalam pepatah adat "BULAT AIR DEK PEMBULUH, BULAT KATO DEK MUFAKAT".
Melambangkan jiwa demokrasi yang tersimpul dalam pepatah adat "BULAT AIR DEK PEMBULUH, BULAT KATO DEK MUFAKAT".
7.
EMPAT GARIS :
Melambangkan sejarah rakyat Jambi dari kerajaan Melayu Jambi hingga menjadi Provinsi Jambi.
Melambangkan sejarah rakyat Jambi dari kerajaan Melayu Jambi hingga menjadi Provinsi Jambi.
8.
Tulisan yang berbunyi: "SEPUCUK JAMBI SEMBILAN LURAH"
didalam satu pita yang bergulung tiga dan kedua belah ujungnya bersegi dua
melambangkan kebesaran kesatuan wilayah geografis 9 DAS dan lingkup wilayah
adat dari Jambi : "SIALANG BELANTAK
9.
BESI SAMPAI DURIAN BATAKUK RAJO DAN DIOMBAK NAN BADABUR, TANJUNG
JABUNG".
Nilai
Budaya
Berdasarkan
cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan "jambe"
yang berarti "pinang". Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda
yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak,
yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku
bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam
(Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk
mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan
sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di
Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang
lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau
yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang
menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda
dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang
jinak dan liar. Sebutan "jinak" diberikan kepada golongan yang telah
dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata
cara pertanian. Sedangkan yang disebut "liar" adalah mereka yang
masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum
mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali
masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah
pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung
dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap
desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang,
dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang
bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat
desa.
Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu
konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh
sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau
gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.
Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk menunjukkan
status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung dsb.
Pakaian Pada
awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju
tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai
kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung
dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum
pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya
dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
Kesenian di Provinsi Jambi yang
terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih,
Selampit delapan, Serentak Satang.
Upacara adat yang
masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa
Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak
betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
Filsafat
Hidup Masyarakat
Setempat:
Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
Provinsi
SUMATERA SELATAN
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Sumatera Selatan
|
Ibukota
|
:
|
Palembang
|
Luas Wilayah
|
:
|
91.592,43 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
8.043.093 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Palembang, Komering, Pasemah,
Ranau, Semendo dll.
|
Agama
|
:
|
Islam: 96 %, Kristen: 1,7 %,
Budha: 1,8 %, ain-lain: 0,5 %
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 13, Kota.: 4,
Kec.:231, Kel.:377, Desa : 2.817 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Dek Sangke
|
Website:
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Sumatera
Selatan atau pulau Sumatera bagian selatan yang dikenal sebagai provinsi
Sumatera Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup
daerah Jambi, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat
wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah
provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa dari keluarga yang
sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah
bahasa dan logat antara lain seperti Palembang, Ogan, Komering, Musi, Lematang
dan masih banyak bahasa lainnya.
Menurut
sumber antropologi disebutkan bahwa asal usul manusia Sumatera bagian selatan
dapat ditelusuri mulai dari zaman paleolitikum dengan adanya benda-benda zaman
paleolitikum pada beberapa wilayah antara lain sekarang dikenal sebagai
Kabupaten Lahat, Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan
Tanjung Karang yakni desa Bengamas lereng utara pergunungan Gumai, di dasar
(cabang dari Sungai Musi) sungai Saling, sungai Kikim lalu di desa Tiangko
Panjang (Gua Tiangko Panjang) dan desa Padang Bidu atau daerah Podok Salabe
serta penemuan di Kalianda dan Kedaton dimana dapat ditemui tradisi yang
berasal dari acheulean yang bermigrasi melalui sungai Mekong yang merupakan
bagian dari bangsa Monk Khmer.
Provinsi
Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi
Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat
kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan
terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di
Benua Afrika.
Sejak
abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya
bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China.
Arti Logo
Lambang
Sumatera Selatan berbentuk perisai bersudut lima. Di dalamnya terdapat lukisan
bunga teratai, batang hari sembilan, jembatan Ampera, dan gunung serta di
atasnya terdapat atap rumah khas Sumatera Selatan.
·
Bunga teratai berkelopak lima berarti keberanian dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
·
Batang hari sembilan adalah nama lain provinsi Sumatera Selatan
yang memiliki sembilan sungai.
·
Jembatan Ampera merupakan ciri yang menjadi kebanggaan
masyarakat Sumatera Selatan.
·
Gunung memiliki makna daerah pegunungan yang banyak terdapat di
Sumatera Selatan.
·
Atap khas Sumatera Selatan yang berujung 17 dan 8 garis genting
dan 45 buah genting merupakan simbol kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus
1945
Nilai Budaya
Kebudayaan Sumatera Selatan
Sumatera
Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian
selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara
geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di
utara, provinsi Kep. Bangka Belitung di timur, provinsi Lampung di
selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya
alam, seperti minyak bumu dan gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota
provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena
menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Di
samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk
dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau,
Kota Pagaralam dan lain-lain. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat
perdagangan, secara tidak langsung ikut memengaruhi kebudayaan masyarakatnya.
Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan,
pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes dan tempoyak.
Berdasarkan Tarian
Seni
Tari dapat menunjukan ciri khas suatu daerah demikian juga Kota
Palembangmemiliki berbagai tarian baik trandisional maupun modern yang
merupakan hasil kreasi dari seniman local
Tari Gending
Sriwijaya
Tari ini ditampilkan secara khusus untuk menyambut tamu-tamu agung seperti kepala Negara, Duta Besar dan Tamu-tamu agung lainnya. Tari Gending Sriwijaya Hampir sama dengan tari Tanggai, perbedaannya terletak pada penggunaan tari jumlah penari dan perlengkapan busana yang dipakai. Penari Gending Sriwijaya seluruhnya
Tari ini ditampilkan secara khusus untuk menyambut tamu-tamu agung seperti kepala Negara, Duta Besar dan Tamu-tamu agung lainnya. Tari Gending Sriwijaya Hampir sama dengan tari Tanggai, perbedaannya terletak pada penggunaan tari jumlah penari dan perlengkapan busana yang dipakai. Penari Gending Sriwijaya seluruhnya
Tari Tanggai
Tari tanggai dibawakan pada saat menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara pernikahan. Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah seperti kaian songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai busana khas daerah para penari kelihatan anggun dengan busana khas daerah. Tarian menggambarkan masyarakat palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi tamau yang berkunjung ke daerahnya
Tari tanggai dibawakan pada saat menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara pernikahan. Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah seperti kaian songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai busana khas daerah para penari kelihatan anggun dengan busana khas daerah. Tarian menggambarkan masyarakat palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi tamau yang berkunjung ke daerahnya
Tari Tenun Songket
Tari ini menggambarkan kegiatan remaja putri khususnya dan para ibu rumah tangga di Palembang pada umumya memanfaatkan waktu luang dengan menenun songket
Tari ini menggambarkan kegiatan remaja putri khususnya dan para ibu rumah tangga di Palembang pada umumya memanfaatkan waktu luang dengan menenun songket
Tari Rodat Cempako
Tari ini merupakan tari rakyat bernafaskan islam. Gerak dasar tari ini diambil dari Negara asalnya Timur Tengah, seperti halnya dengan tari Dana Japin dan Tari Rodat Cempako sangat dinamis dan lincah
Tari ini merupakan tari rakyat bernafaskan islam. Gerak dasar tari ini diambil dari Negara asalnya Timur Tengah, seperti halnya dengan tari Dana Japin dan Tari Rodat Cempako sangat dinamis dan lincah
Tari Mejeng Besuko
Tari ini melukiskan kesukariaan para remaja dalam suatu pertemuan mereka .Mereka bersenda gurau mengajuk hati lawan jenisnya. Bahkan tidak jarang diantara mereka ada yang jatuh hati dan menemukan jodohnya melalui pertemuan seperti ini
Tari ini melukiskan kesukariaan para remaja dalam suatu pertemuan mereka .Mereka bersenda gurau mengajuk hati lawan jenisnya. Bahkan tidak jarang diantara mereka ada yang jatuh hati dan menemukan jodohnya melalui pertemuan seperti ini
Tari Madik (Nindai)
Masyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon, orang tua pria terlebih dahulu dating kerumah seorang wanita dengan maksud melihat dan menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud. Hal yang dinilai atau ditindai itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari. Dengan penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia tidak akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai dengan harapan pihak keluarga mempelai pria
Masyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon, orang tua pria terlebih dahulu dating kerumah seorang wanita dengan maksud melihat dan menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud. Hal yang dinilai atau ditindai itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari. Dengan penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia tidak akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai dengan harapan pihak keluarga mempelai pria
Dul Muluk
Dul muluk adalah salah satu kesenian tradisional yang ada di Sumatera Selatan biasanya seni Dul Muluk ini dipentaskan pada acara yang bersifat menghibur, seperti pada acara : pernikahan pergelaran tradisional dan panggung hiburan
Dul muluk adalah salah satu kesenian tradisional yang ada di Sumatera Selatan biasanya seni Dul Muluk ini dipentaskan pada acara yang bersifat menghibur, seperti pada acara : pernikahan pergelaran tradisional dan panggung hiburan
Berdasarkan Rumah Adat
Rumah
Limas merupakan prototype rumah tradisional Palembang, selain ditandai denagn
atapnya yang berbentuk limas, rumah limas ini memiliki ciri-ciri; – Atapnya
berbentuk Limas – Badan rumah berdinding papan, dengan pembagian ruangan yang
telah ditetapkan (standard) bertingkat-tingkat.(Kijing) – Keseluruhan atap dan
dinding serta lantai rumah bertopang di atas tiang-tiang yang tertanam di tanah
– Mempunyai ornamen dan ukiran yang menampilkan kharisma dan identitas rumah
tersebut Kebanyakan rumah Limas luasnya mencapai 400 sampai 1.000 meter persegi
atau lebih, yang didirikan di atas tiang-tiang kayu Onglen dan untuk rangka
digunakan kayu tembesu Pengaruh Islam nampak pada ornamen maupun ukiran yang
terdapat pada rumah limas. Simbas (Platy Cerium Coronarium) menjadi symbol
utama dalam ukiran tersebut. Filosofi tempat tertinggi adalah suci dan
terhormat terdapat pada arsitektur rumah limas.
Ruang
utama dianggap terhormat adalh ruang gajah (bahasa kawi= balairung) terletak
ditingkat teratas dan tepat di bawah atap limas yang di topang oleh Alang Sunan
dan Sako Sunan.
Diruang
gajah terdapat Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak tinggi dari ruang
gajah (+/- 75 cm). Ruangan ini merupakan pusat dari Rumah Limas baik untuk adat,
kehidupan serta dekorasi. sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi
sehingga show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah.
Pangkeng
(bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk
memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang
terletak di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah
tangga. Pada ruang belakang dari segala terdapat pawon (dapur) yang lantainya
sama tingkat dengan lantai Gegajah tetapi tidak lagi dibawah naungan atap
pisang sesisir.
Dengan
bentuk ruangan dan lantai berkijing-kijing tersebut, maka rumah Limas adalah
rumah secara alami mengatur keprotokolan yang rapi, tempat duduk para tamu
disaat sedekah sudah ditentukan berdasarkan status tersebut di masyarakat.
Berdasarkan Makanan Khas
Kota
ini memiliki komunitas Tionghoa cukup besar. Makanan seperti pempek atau
tekwan yang terbuat dari ikan mengesankan “Chinese taste” yang kental pada
masyarakat Palembang.
·
Pempek, makanan khas Palembang yang telah terkenal di seluruh
Indonesia. Dengan menggunakan bahan dasar utama daging ikan dan sagu,
masyarakat Palembang telah berhasil mengembangkan bahan dasar tersebut menjadi
beragam jenis pempek dengan memvariasikan isian maupun bahan tambahan lain
seperti telur ayam, kulit ikan, maupun tahu pada bahan dasar tersebut. Ragam
jenis pempek yang terdapat di Palembang antara lain pempek kapal selam, pempek
lenjer, pempek keriting, pempek adaan, pempek kulit, pempek tahu, pempek
pistel, pempek udang, pempek lenggang, pempek panggang, pempek belah dan pempek
otak – otak. Sebagai pelengkap menyantap pempek, masyarakat Palembang biasa
menambahkan saus kental berwarna kehitaman yang terbuat dari rebusan gula
merah, cabe dan udang kering yang oleh masyarakat setempat disebut saus cuka
(cuko).
·
Tekwan, makanan khas Palembang dengan tampilan mirip sup ikan
berbahan dasar daging ikan dan sagu yang dibentuk kecil – kecil mirip bakso
ikan yang kemudian ditambahkan kaldu udang sebagai kuah, serta soun dan jamur
kuping sebagai pelengkap.
·
Model, mirip tekwan tetapi bahan dasar daging ikan dan sagu
dibentuk menyerupai pempek tahu kemudian dipotong kecil kecil dan ditambah
kaldu udang sebagai kuah serta soun sebagai pelengkap. Ada 2 jenis model, yakni
Model Ikan (Model Iwak) dan Model Gandum (Model Gendum).
Sumber:
Kebudayaan
Sumatera Selatan
Provinsi
BENGKULU
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Bengkulu
|
Ibukota
|
:
|
Bengkulu
|
Luas Wilayah
|
:
|
19.919,33 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
1.923.875 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu, Suku Mukomuko,
Suku Ketahun, Suku lembak, Suku Enggano, Suku Pasemah, Suku pendatang dll.
|
Agama
|
:
|
Islam : 95,27 %, Kristen Protestaan : 3,59 %, Hindu :
0,73%, Budha : 0,41 %
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 9, Kota : 1, Kec.: 126, Kel.: 172, Desa :
1.341 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Lalan Balek
|
Website:
|
:
|
*) Sumber : Permendagri
Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Sejarah
Bengkulu
Islam masuk ke Bengkulu
pada abad XV (dari jawa). Perang Bengkulu-Aceh terjadi dua kali pada abad XVI
dan XVII. Kesultanan-kesultanan di Bengkulu ketika itu: Selebar, Sungai Limau,
dan Anak Sungai. Armada Aceh membuka serangan ke Selebar.
Kapal induk Aceh
menunggu di laut bersama induk pasukan, sedangkan kapal-kapal yang lebih kecil
memasuki Sungai Serut. Pihak Selebar mampu menahan serangan itu karena menutup
Sungai Serut dengan rintangan sehingga kapal induk Aceh tidak mampu memberi
bantuan pada pasukannya yang lebih dahulu masuk. Zaman prasejarah Bengkulu
sudah dihuni manusia. Para pendatang dari Asia berbaur dengan manusia purba sekitar
4000 – 2000 SM. Sebagian masuk ke pedalaman, sementara yang lain menghuni
daerah pantai. Ini merupakan cikal bakal suku bangsa Neo-Malayan. Bagian suku
bangsa itu antara lain : suku Rejang (Rejang Lebong dan Bengkulu Selatan),
Serawai / Pasemah (Bengkulu Selatan), Kaur (Bintuhan), Lembak di Kota Bengkulu
dan sekitar Kepala Curup). Bengkulu (Kota Bengkulu) dan suku Katahun
(Muko-muko).
Tonggak
sejarah Bengkulu
1664 – VOC mendirikan
perwakilan di Bengkulu, namun enam tahun kemudian Belanda menutup sementara
kantornya dan dibuka kembali tahun 1824.
24 Juni 1685
Inggris masuk ke Bengkulu, namun mereka mendarat di Pulau Tikus ( 1 km
dari kota pusat kota Bengkulu) dan disambut oleh agen niaganya. Mereka tidak
masuk ke pelabuhan Selebar (daerah Pulau Baai) karena kapal Sultan Banten
dan kapal Belanda sedang bersandar di sana.
16 Agustus 1695
Perjanjian Inggris – Bengkulu ditandatangani. Isinya monopoli lada, izin
membangun loji, dan mengadili penduduk yang berbuat salah. Inggris terus
memperluas wilayahnya sampai ke Muko-muko.
1692 Inggris
mendirikan pos di Triamang, Lais, Ketahun, Ipuh, Bantal, Seblat (1700),
selanjutnya Pada tahun 1701 mereka memperluas daerah ke arah Seluma, Manna,
Kaur, dan Krui. 1718 Inggris membangun benteng Marlborough, sebelumnya sudah
didirikan benteng York. Rakyat Bengkulu merupakan ancaman bagi Inggris. Di
Bantal, Muko-muko, pemberontakan rakyat dipimpin Sultan Mansyur dan Sultan
Sulaiman. Itu sebabnya Inggris merasa perlu membangun benteng tersebut.
Pemberontakan itu (1719) membuat Inggris kawatir dan akhirnya meninggalkan
Bengkulu. 1724 Inggris kembali lagi. Dengan perjanjian yang lebih lunak
yang di tanda tangani pada 17 April 1724
15 Desember 1793 Captain
Hamilton, pimpinan Angkatan Laut Inggris dibunuh rakyat Bengkulu. Dan pada 1807
rakyat Bengkulu kembali membunuh Residen Thomas Parr.
17 Maret 1824 Traktaat
London (Perjanjian London) yang berisikan pertukaran daerah koloni antara
Inggris dan Belanda. Tercantum, Bengkulu diserahkan kepada Belanda oleh Inggris
dan Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris..23 Februari 1942 Jepang masuk
kota Curup dan terus ke kota Bengkulu.
Sejarah Pemerintahan
Berdasarkan sejarahnya,
daerah Bengkulu pernah berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris, Belanda, dan
Jepang (dari tahun 1685 sampai tahun 1945). Secara resmi, setelah Indonesia
merdeka, Keresidenan Bengkulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 12 Oktober 1945.
Pada masa kolonial
Belanda sampai tahun 1942, Keresidenan Bengkulu terdiri dari daerah-daerah yang
saat ini merupakan bagian dari Provinsi Bengkulu ditambah dengan daerah-daerah
Krui, Tanjung Sakti, dan Muara Sindang. Akan tetapi, pada masa pendudukan
Jepang dan pada masa Revolusi fisik, daerah-daerah Krui, Tanjung Sakti, dan
Muara Sindang tersebut dimasukkan kedalam Keresidenan Palembang dan Lampung.
Perkembangan administrasi di bengkulu secara ringkas adalah sebagai berikut,
1. Tahun 1878-1945,
daerah Bengkulu merupakan daerah administrasi Keresidenan.
2. Tahun 1945-1947,
daerah Bengkulu merupakan daerah administrasi dengan hak mengatur rumahtangga
sendiri dan pada waktu itu terdapat pula sistem K.N.I. Keresidenan.
3. Tahun 1947-1950,
daerah Bengkulu merupakan daerah administrasi dengan hak mengatur rumahtangga
sendiri dan pada waktu itu K.N.I. Keresidenan menjadi DPR Keresidenan.
4. Tahun 1950-1968,
daerah Bengkulu merupakan daerah administrasi lagi, sedangkan DPR Keresidenan
dibubarkan.
5. Tahun 1968- … ,
daerah Bengkulu menjadi provinsi otonom yang berdiri sendiri dan dikepalai oleh
seorang Gubernur
Provinsi Bengkulu
terbentuk berdasarkan UU No. 9 tahun 1967 yang direalisasikan dengan Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1968. Perjalanan sejarah Bengkulu menjadi sebuah
provinsi yang otonom dapat dibagi menjadi tujuh periode. Periode I, sebelum
tahun 1685, di bawah pengaruh atau mengadakan kontak dagang dengan Kesultanan
Banten. Periode II, tahun 1685-1824, di bawah kekuasaan pemerintahan Inggris
sebagai daerah jajahan. Periode III, tahun 1824-1942, di bawah kekuasaan
Pemerintah Kolonial Belanda sebagai daerah jajahan. Periode IV, tahun
1942-1945, di bawah kekuasaan Jepang. Periode V, tahun 1945-1946, menjadi
bagian dari Provinsi Sumatera. Periode VI, tahun 1946-1968, menjadi bagian
wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Periode VII, melepaskan diri dari Provinsi
Sumatera Selatan dan menjadi Provinsi Bengkulu.
Wilayah Provinsi
Bengkulu yang dibentuk berdasarkan UU No. 9 tahun 1967 tersebut meliputi
wilayah bekas Keresidenan Bengkulu dengan luas wilayahnya 19.813 km2, terdiri
dari empat Daerah Tingkat II, yaitu Kotamadya Bengkulu yang terdiri dari dua
kecamatan, Kabupaten Bengkulu Utara (ibukota Argamakmur) yang terdiri dari 13
kecamatan, Kabupaten Bengkulu Selatan (ibukota Manna) yang terdiri dari 11
kecamatan, dan Kabupaten Rejang Lebong (ibukota Curup) yang terdiri dari 10
kecamatan. Wilayah kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat dibagi lagi ke
dalam marga dipimpin oleh seorang pasirah dan pasar yang dipimpin oleh datuk.
Gubernur/Kepala Daerah sebagai kepala
pemerintahan yang pernah memimpin propinsi Bengkulu :
1. Ali Amin (1968 – 1974)
2. Abdul Chalik (1974 – 1979)
3. Suprapto (1979 – 1989)
4. H.A Razie Yahya (1989 – 1994)
5. Adjis Achmad (1994 – 1999)
6. A. Djalal Bachtiar (1999)
7. Hasan Zen (1999 – 2004)
8. Seman Widjojo (2004 - 2005)
9. Agusrin M Najamuddin (29 Nopember 2005 – 2011)
10. H. Junaidi Hamsyah (2012 - 2015)
1. Ali Amin (1968 – 1974)
2. Abdul Chalik (1974 – 1979)
3. Suprapto (1979 – 1989)
4. H.A Razie Yahya (1989 – 1994)
5. Adjis Achmad (1994 – 1999)
6. A. Djalal Bachtiar (1999)
7. Hasan Zen (1999 – 2004)
8. Seman Widjojo (2004 - 2005)
9. Agusrin M Najamuddin (29 Nopember 2005 – 2011)
10. H. Junaidi Hamsyah (2012 - 2015)
11.DR. H. Ridwan Mukti (2015 s/d sekarang)
(Sumber
: PROVINSI BENGKULU SELAYANG PANDANG, oleh : Witrianto, S.S, M.Hum, M.Si dan
dari berbagai sumber)
Arti
Logo
·
Lambang Daerah Provinsi Bengkulu berbentuk tameng.
·
Ditengah-tengah terdapat tameng kecil yang di dalamnya berisikan
setangkai padi dan setangkai kopi bersama daunnya.
·
Sedangkan ditengah-tengahnya terdapat bunga Rafllesia, rudus,
cerana dan bintang besar.
·
Sebuah pita dengan bertuliskan : "BENGKULU".
·
Makna Warna di dalam Lambang sebagai berikut:
· Hijau :
Kesuburan,
· Biru :
Kemakmuran,
· Merah : Dinamika
Kegembiraan,
· Ungu : Ketenangan
kedamaian,
· Kuning :
Kejayaan.
Warna hijau di atas
tameng mencerminkan daerah pegunungan Bukit Barisan dengan tanahnya yang
subur sebagai batas tanah daerah Provinsi Bengkulu sebelah Timur, warna
biru berombak dengan 18 (delapan belas) gelombang berarti Laut dengan
sumber kekayaan sebagai batas daerah Propinsi Bengkulu sebelah Barat.
Dalam tameng kecil di sebelah
kiri terdapat setangkai padi yang berwarna kuning. Buah padi bercelah
17 (tujuh belas) butir melambangkan tanggal 17. Disebelah kanan terdapat
setangkai bunga kopi berwarna putih dan buah kopi berwarna hijau, bunga
kopi berwarna putih dan buah kopi berjumlah 8 (delapan) melambangkan bulan
Agustus. Tulang daun kopi bagian atas berjumlah 4 (empat) garis. bagian bawah
berjumlah 5 (lima) garis melambangkan tahun 1945, arti keseluruhannya HARI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA (17-8-1945)
Garis gelombang
18 (delapan batas) melambangkan tanggal 18,Daun kopi berjumlah
11 (sebelas) helai melambangkan bulan November, Bunga kopi setiap
tangkai berjumlah 6 (enam) dan buah kopi setiap tangkai berjumlah 8
(delapan). Arti keseluruhannya adalah hari kelahiran Provinsi Bengkulu
(18 November 1968)
Nilai
Budaya
Kain bersurek, merupakan kain
bertuliskan huruf Arab gundul.
Kepercayaan, pada umumnya masyarakat di
Provinsi Bengkulu 95 % lebih menganut agama Islam.
Upacara Adat, banyak dilakukan masyarakat
di Provinsi Bengkulu seperti, sunatan rasul, upacara adat perkawinan, upacara
mencukur rambut anak yang baru lahir.
Upacara Adat
Salah satu upacara tradisional di Kota Bengkulu adalah upacara “TABOT" yaitu
suatu perayaan tradisional yang dilaksanakan dari
tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 Muharam setiap tahunnya untuk memperingati
gugurnya Hasan dan Husen cucu Nabi Muhammad SAW oleh keluarga Yalid dari kaum
Syiah, dalam perperangan di Karbala pada tahun 61 Hijriah.
Pada perayaan TABOT tersebut dilaksanakan berbagai pameran
serta lomba ikan-ikan, telong-telong serta
kesenian lainnya yang diikuti oleh kelompok-kelompok kesenian yang ada di
Provinsi Bengkulu sehingga menjadikan ajang hiburan rakyat dan menjadi salah
satu kalender wisata tahunan.
Falsafah hidup masyarakat setempat
Sekundang setungguan Seio Sekato.
Bagi masyarakat Bengkulu pembuatan kebijakan yang menyangkut
kepentingan bersama yang sering kita dengar dengan bahasa pantun yaitu :
Kebukit Samo Mendaki, Kelurah Samo Menurun, Yang Berat Samo
dipikul, Yang Ringan Samo Dijinjing, artinya dalam membangun,
pekerjaan seberat apapun jika sama-sama dikerjakan akan terasa ringan
juga.
Bulek Air Kek Pembuluh, Bulek Kata Rek Sepakat, artinya bersatunya air dengan
bambu, bersatunya pendapat dengan musyawarah.
Provinsi
LAMPUNG
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Lampung
|
Ibukota
|
:
|
Bandar Lampung
|
Luas Wilayah
|
:
|
34.623,80 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
9.543.231 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Jawa, Sunda, Batak, Melayu,
Lampung (Sebatin dan Pepadun)
|
Agama
|
:
|
Islam : 92 %, Kristen Protestan :
1,8 %, Katolik : 1,8 %, Budha 1,7 %, dll 2,7 %
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 13, Kota : 2, Kec.:
225, Kel.: 205, Desa : 2.435 *)
|
Lagu daerah
|
:
|
Gambus dan Kulintang Lampung
|
Website
|
:
|
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Provinsi
Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 31964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964.
Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan
Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun
Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara administratif
masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh
sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar
serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khasanah adat
budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah
Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala
Banten dibawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil
menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra
dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten
mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra
Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk
menggantikan kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan
kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC, oleh
karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai kesultanan Banten. Usaha VOC ini
berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan
ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri,
Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan
menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7
April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji
dinobatkan
menjadi Sultan Banten.
Dari
perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah
piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain
menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas
daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus
memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada
tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di
Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat
mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur
yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag
dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang
dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di
Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu
dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa
sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara
itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada dibawah Kekuasaan
Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung
tidak mutlak.
Penempatan
wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau
kadangkadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan
hasil bumi (lada).
Sedangkan
penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau
kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada dibawah
koordinasi penguasaan Jenang Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas
Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus
keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung
adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya
pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan
tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan
bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan
Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam
pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu
Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten
Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa :
1.
Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
2.
Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f.
600 tiap
tahun.
3.
Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa
yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi
persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan
perlawananperlawanan terhadap Belanda.
Oleh
karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin
Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan
membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat itu Belanda
sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia
dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah
Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di
daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba
Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun 1834 setelah
Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh,
maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin
Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini
menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian di
buang ke Pulau Timor.
Dalam
pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus"
dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin
perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa
tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari
orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda di
daerah Telukbetung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra
Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus,
sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara
Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak
itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan
mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa
sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu
maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga
menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan
fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan
betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti.
Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun
1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi
Lampung.
Sumber : Pemprov.Lampung
Arti Logo
ARTI LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG
1.
Perisai Bersegi Lima : Kesanggupan mempertahankan cita dan membina pembangunan
rumah-tangga Yang didiami oleh dua unsur golongan masyarakat untuk mencapai
masyarakat makmur, adil berdasarkanpancasila.
2.
Pita SAI BUMI RUWAI JURAI : Sai Bumi Rumah tangga agung yang berbilik-bilik.
Rua jurai : dua unsur golongan masyarakat yang berdiam di wilayah Propinsi
Lampung.
3.
Aksara Lampung berbunyi : " LAMPUNG "
4.
Daun dan Buah lada : Daun =17, Buah Lada 8, Lada merupakan produk utama
penduduk asli sejak masa lampau sehingga Lampung dikenal bangsa-bangsa Asia dan
bangsa-bangsa Barat. Biji lada 64, Menunjukan bahwa terbentuknya Dati I Lampung
tahun 1964.
5.
Setangkai Padi : Buah padi 45. Padi merupakan produk utama penduduk migrasi
sehingga terjadilah kehidupan bersama saling mengisi antara dua unsur golongan
masyarakat sehingga terwujudnya Negara RI yang Diproklamirkan 17-08-1945.
6.
Laduk : Golok masyarakat serba guna.
7.
Payam : Tumbak pusaka tradisional.
8.
Gung : Sebagai alat inti seni budaya, sebagai pemberitahuan karya besar
dimulai, dan sebagai alat menghimpun masyarakat untuk bermusyawarah.
9.
Siger : Mahkota perlambang keaggungan adat budaya dan tingkat kehidupan
terhormat
10.
Payung : Jari payung 17, bagian ruas tepi 8, garis batas ruas 19, dan rumbai
payung 45. Artinya payung agung yang melambangkan Negara RI Proklamasi
17-08-1945 dan sebagai payung jurai yang melambangkan Propinsi Lampung tempat
semua jurai berlindung. Tiang dan bulatan puncak payung : satu cita membangun
Bangsa dan Negara RI dengan Ridho Tuhan Yang Maha Esa.
11.
Warna :
Hijau
= dataran tinggi yang subur untuk tanamam keras dan tanaman musim.
Coklat
= Dataran rendah yang subur untuk sawah dan ladang.
Biru
= Kekayan sungai dan lautan yang merupakan sumber perikanan dan kehidupan para
Nelayan.
Putih
= Kesucian dan keikhlasan hati masyarakat.
Kuning
(tua, emas dan muda) =keagungan dan kejayaan serta kebesaran cita masyarakat
untuk membangun daerah dan Negaranya.
Sumber : Pemprov.Lampung
Nilai Budaya
Upacara adat yang masih dilestarikan :
Upacara Kuruk Limau : Upacara tujuh
bulanan
Upacara Becukor: Upacara gunting rambut bayi yang berumur 2 tahun.
Upacara Turun Tanah : Upacara ketika bayi berumur 3 bulan.
Upacara Nyerak : Upacara melubangi bagian daun telinga bayi perempuan
untuk memasang anting-anting.
Upacara Rebahdiah : Upacara adat perkawinan besar dari suku Saibatin.
Upacara Hibalbatin : Upacara adat perkawinan jujur antara pria dan wanita
yang berlainan marga.
Upacara Bumbung Aji : Upacara adat perkawinan jujur tingkat 2 dimana mempelai
pria hanya menggunakan pakaian haji.
Upacara Intar Padang : Upacara perkawinan adat yang tidak dilakukan di balai adat,
hanya dilakukan oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh penyimbang.
Upacara Sebambangan : Upacara perkawinan tanpa melalui lamaran dan masa pertunangan.
Upacara adat kematian.
Upacara Ngelepaskan Niat : Upacara yang dilakukan seseorang yang memenuhi nazar.
Upacara Ngerujak-ngelimau : Upacara makan rujak dan membersihkan rambut pada saat
menjelang bulan Ramadhan.
Upacara Bujenong Jaru Marga : Upacara pengukuhan kepala marga yang baru.
Falsafah Hidup Masyarakat Setempat
Pi’il Pesenggiri : segala sesuatu yang menyangkut harga diri, prilaku, dan
sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara
pribadi maupun secara kelompok yang senantiasa dipertahankan.
Sakai Sambaian : gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling
memberi sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain.
Nemui Nyimah : bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak baik
terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa saja yang berhubungan
dengan mereka.
Nengah Nyappur : tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan
membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan pengetahuan luas.
Bejuluk Baedek : tata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan
turun temurun dari zaman dahulu.
Kebukit Samo Mendaki, Kelurah Samo
Menurun, Yang Berat Samo Dipikul Yang ringan Samo Dijinjing : dengan senatiasa dilandasi dengan semangat hidup atau dikenal
dengan 5 (lima) filosofi/prinsip hidup yaitu Piil Pesenggiri, Bejuluk
Beadek, Nemuy Nyimah, Nengah Nyappur dan Sakay Sembayan, yang
merupakan tekad masyarakat Lampung dengan kesadaran bersama sehingga tetap
terpelihara kerukunan antar sesama masyarakat yang saling asah, saling asih dan
saling asuh.
Provinsi
KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
|
Ibukota
|
:
|
Pangkal Pinang
|
Luas Wilayah
|
:
|
16.424,06 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
1.277.586 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Suku Melayu (suku bangsa asli),
Jawa, Sunda , Bugis, Banten, Banjar, Madura, Palembang, Minang, Aceh,
Flores,Maluku, Manado dan Cina(30%)
|
Agama
|
:
|
Islam : 81,83%, Budha : 8,71 %,
Kong Hu Cu : 5,11 %, Kristen : 2,44%, Kristen Katolik : 1.79%, dan Hindu :
0,13%
|
Wilayah Administrasi
Website
|
:
:
|
Kab.: 6, Kota : 1, Kec.: 47, Kel.:
78, Desa : 309 *)
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Wilayah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau
Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil. Sebelum Kapitulasi Tutang
Pulau Bangka dan Pulau Belitung merupakan daerah taklukan dari Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Setelah itu, Bangka Belitung menjadi daerah
jajahan Inggris dan kemudian dilaksanakan serah terima kepada pemerintah
Belanda yang diadakan di Muntok pada tanggal 10 Desember 1816. Pada masa
penjajahan Belanda, terjadilah perlawanan yang tiada henti-hentinya yang
dilakukan oleh Depati Barin kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Depati Amir dan berakhir dengan pengasingan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur oleh
Pemerintahan Belanda. Selama masa penjajahan tersebut banyak sekali kekayaan
yang berada di pulau ini diambil oleh penjajah.
Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sebelumnya merupakan bagian
dari Provinsi Sumatera Selatan. Ibukota provinsi ini adalah Pangkalpinang.
Arti Logo
Perisai Bersudut Lima, mmelambangkan Pancasila sebagai dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kepulauan Bangka Belitung, melambangkan wilayah,
masyarakat, sistem pemerintah, kebudayaan dan sumberdaya alam Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
Lingkaran Bulat Simetrikal, melambangkan kesatuan
dan persatuan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam menghadapi segala
tantangan di tengah - tengah peradaban dunia yang semakin terbuka.
Butir Padi berjumlah 27 buah melambangkan nomor
dari Undang-undang pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu UU
No.27 Tahun 2000,dan Buah Lada,berjumlah 31 buah melambangkan Kepulauan Bangka Belitung
merupakan Propinsi ke 31 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padi dan buah
lada juga melambangkan
kesejahteraan dan kemakmuran.
Balok Timah, melambangkan kekayaan alam (hasil bumi pokok)
berupa timah yang dalam sejarah secara social ekonomis telah menopang kehidupan
masyarakat Propinsi Kepulauan Bangka Belitung selama lebih dari 300 tahun.
(diketemukan dan dikelola sejak tahun 1710 Mary Schommers dalam Bangka Tin)
Biru Tua dan Biru Muda (Dalam Perisai dan Lingkaran
Hitam), melambangkan
bahari dunia kelautan dari yang dangkal sampai yang terdalam. Menyiratkan
lautan dengan segala kekayaan alam yang ada di atasnya, di dalam dan di dasar
lautan yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar - besarnya bagi kesejahteraan
rakyat.
Putih (Tulisan), melambangkan keteguhan dan perdamaian.
Kuning ( Padi dan Semboyan), melambangkan ketentraman dan kekuatan.
Hijau (Pulau dan Lada), melambangkan kesuburan.
Hitam (Outline Lingkaran), melambangkan ketegasan.
Serumpun Sebalai, menunjukan bahwa kekayaan alam dan plularisme
masyarakat Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap merupakan kelurga besar
komunitas (serumpun) yang memiliki perjuangan yang sama untuk menciptakan
kesejahteraan , kemakmuran, keadilan dan perdamaian.
Untuk mewujudkan
perjuangan tersebut, dengan budaya masyarakat melayu berkumpul, bermusyawarah,
mufakat, berkerjasama dan bersyukur bersama-sama dalam semangat kekeluargaan
(sebalai) merupakan wahana yang paling kuat untuk dilestarikan dan
dikembangkan. Nilai- nilai universal budaya ini juga dimiliki oleh beragam
etnis yang hidup di Bumi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan demikian,
Serumpun Sebalai mencerminkan sebuah eksistensi masyarakat Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung dengan kesadaran dan citacitanya untuk tetap menjadi keluarga
besar yang dalam perjuangan dan proses kehidupannya senantiasa mengutamakan
dialog secara kekeluargaan, musyawarah dan mufakat serta berkerja sama dan
senantiasa mensyukuri nikmat Tuhan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Serumpun Sebalai, merupakan semboyan penegakan demokrasi melalui musyawarah dan
mufakat.
Nilai Budaya
Seni Budaya yang berkembang di
wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sangat beragam dan menggambarkan
keanekaragaman suku bangsa dan agama. Yang merupakan kekayaan seni budaya di
Bangka Belitung berupa Seni Tari, Seni Drama, Seni Musik, Interior bangunan dan
upacara-upacara adat.
Produk Budaya di
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Produk budaya di Bangka
Belitung diantaranya yaitu :
Seni tari di pulau
Bangka; Tari Campah, Tari Kedidi, Tari Tabar, Tari lapin, Tari Melimbang Timah.
Di Pulau Belitung
berkembang tari Nusor Tebing, tari Bitiong dan tari Randau. Seni drama antara
lain, drama putri Sri Rinai dan Dul Muluk.
Seni Musik antara lain,
Bedindak Bedaeh, Lagu Yak Miak, Icak-icak Dek Tau.
Seni Interior yang
khususnya di Bangka dan Belitung di pengaruhi oleh gaya arsitektur Cina.
Upacara-upacara Adat : Upacara-upacara
adat yang menjadi khasanah budaya Bangka Belitung antara lain: Perang Ketupat,
Nnirok Nanggak dan Tuang Jong dan Nganggung serta Kawin Massal.
Kerajinan Khas
Bangka :
Kerajinan Khasnya yaitu : Kopiah resam dan Kain Cual.
Falsafah Hidup
Masyarakat setempat :
Serumpun Sebalai, adalah suatu bentuk
etika kehidupan keseharian masyarakat Bangka Belitung yang rukun damai dan
dalam hubungan kekeluargaan walaupun terdiri dari bermacam-macam etnis dan
agama.
Jangan Dak Kawa Nyusa
Aok, artinya dalam setiap
keberhasilan memerlukan kerja keras.
Provinsi
KEPULAUAN RIAU
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Kepulauan Riau
|
Ibukota
|
:
|
Batam
|
Luas Wilayah
|
:
|
8.201,72 km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
1.810.086 jiwa *)
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 5, Kota :
2, Kec.: 66, Kel.: 141, Desa : 275 *)
|
Batas Wilayah
|
:
|
Sebelah Utara berbatasan
dengan Vietnam dan Kamboja
Sebelah Timur berbatasan dengan Malaysia, Brunei, dan
Provinsi Kalimantan Barat
Sebelah Selatan berbatasan dengan
Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi
Sebelah Barat berbatasan dengan
Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.
|
Website
|
:
|
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Provinsi Kepulauan
Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi
ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten
Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara
keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 5 Kabupaten dan 2 Kota, 59
Kecamatan serta 351 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil
dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar
8.201,72 Km2, di mana 95% - nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan
wilayah darat
Arti Logo
Lambang Daerah Kepulauan Riau terdiri dari 6 (enam) bagian dengan rincian
sebagai berikut :
Bintang berwarna kuning melambangkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa;
Mata Rantai berwarna hitam berjumlah 32 (tiga puluh dua) yang berlatar
belakang warna hijau muda melambangkan kebersamaan masyarakat Provinsi
Kepulauan Riau yang bersatu padu dan menunjukkan berdirinya Provinsi Kepulauan
Riau sebagai Provinsi yang ke- 32 di Negara Republik Indonesia;
Perahu berwarna kuning sebagai simbol alat transportasi
masyarakat Kepulauan Riau dengan layar berwarna putih yang terkembang melambangkan
semangat kebersamaan dalam satu tekad mengisi laju pembangunan di Provinsi
Kepulauan Riau;
Padi berwarna kuning berjumlah 24 (dua puluh empat) butir dan
Kapas berwarna hijau dan putih berjumlah 9 (sembilan) kuntum melambangkan
kesejahteraan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau sebagai tujuan utama dan
mengingatkan tanggal disyahkannya Undang-Undang terbentuknya Provinsi Kepulauan
Riau 24 September 2002,Sebilah Keris berluk 7 (tujuh) berwarna kuning emas
berhulu kepala Burung Serindit berwarna hitam, di atas tepak sirih berwarna
merah lekuk 5 (lima), di dalam perahu berwarna kuning yang dengan gelombang 7
(tujuh) lapis, yang masing-masing melambangkan sebagai berikut :
1.
Sebilah Keris berluk 7 (tujuh) berwarna kuning emas berhulu
kepala Burung Serindit berwarna hitam, melambangkan keberanian dalam menjaga
dan memperjuangkan negeri bahari ini untuk menuju kesejahteraan dan kemakmuran,
2.
Tepak Sirih berwarna merah melambangkan persahabatan,
3.
Perahu berwarna kuning sebagai simbol alat transportasi
masyarakat Kepulauan Riau dengan layar berwarna putih yang terkembang,
melambangkan semangat kebersamaan dalam satu tekad mengisi laju pembangunan di
Provinsi Kepulauan Riau,
4.
Gelombang berlapis 7 sebagai simbol bulan Juli, sehingga
mengingatkan kita diresmikannya Provinsi Kepulauan Riau yakni tanggal 1 Juli
2004;
Tulisan “PROVINSI
KEPULAUAN RIAU” berwarna putih di atas dasar lambang daerah berwarna
biru tua sebagai identitas nama daerah Pita berwarna kuning bertuliskan “BERPANCANG
AMANAH BERSAUH MARWAH” berwarna hitam adalahMOTTO DAERAH yang
mengandung semangat dan tekad serta azam masyarakat Provinsi Kepulauan Riau
dalam menuju cita-cita luhurnya
Nilai Budaya
Berpancang Amanah,
Bersauh Marwah, Provinsi Kepulauan Riau bertekad untuk membangun daerahnya
menjadi salah satu pusat pertumbuhan perekonomian nasional dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai Budaya Melayu yang didukung oleh masyarakat yang
sejahtera, cerdas, dan berakhlak mulia.
Provinsi
DKI
JAKARTA
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi DKI Jakarta
|
Ibukota
|
:
|
Jakarta
|
Luas Wilayah
|
:
|
664,01 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
9.988.495 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Betawi, Jawa, Sunda dan lain-lain.
|
Agama
|
:
|
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dll.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab. : 1 (Kepulauan Seribu), Kota : 5, Kec. : 44, Kel.
: 267, Desa : 0. *)
|
Batas Wilayah
|
:
|
Wilayah Provinsi DKI Jakarta sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten/Kota Bekasi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang dan Kota Depok, sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tangerang dan
sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
|
Lagu daerah
|
:
|
Kicir-kicir, Jali-jali, Keroncong kemayoran
|
Website
|
:
|
*) Sumber : Permendagri
Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di
muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian
kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai.
Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti
yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta
sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat
sedikit.
Laporan para penulis Eropa abad ke-16
menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama
bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak
sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa
Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke
bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama
Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah
mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah
yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda
datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia.
Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air
mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman
banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak
sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang
merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia
berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan
lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat
kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini
dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para
mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.
Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
* Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
* 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan
sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
* 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad
Batavia.
* 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
* 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
* September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
* 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad
Gemeente Batavia.
* 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
* 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja
Djakarta Raya.
* Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
* 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
* Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus
ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi
pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan
bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah
kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
* Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
* 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan
sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
* 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad
Batavia.
* 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
* 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
* September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
* 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad
Gemeente Batavia.
* 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
* 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja
Djakarta Raya.
* Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
* 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
* Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus
ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi
pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan
bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah
kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
Arti
Logo
Lambang
Daerah
Lambang Daerah Khusus
lbukota Jakarta Raya adalah sebagai berikut : Lukisan Perisai segi lima yang
didalamnya melukiskan gerbang terbuka.Didalam gerbang terbuka itu terdapat
"Tugu Nasional" yang dilingkari oleh untaian (krans) padi dan kapas.
Sebuah tali melingkar pangkal tangkai-tangkai padi dan kapas.
Lambang Daerah Khusus
lbukota Jakarta Raya adalah sebagai berikut :
Lukisan Perisai segi lima
yang didalamnya melukiskan gerbang terbuka.Didalam gerbang terbuka itu terdapat
"Tugu Nasional" yang dilingkari oleh untaian (krans) padi dan kapas.
Sebuah tali melingkar pangkal tangkai-tangkai padi dan kapas.
Pada bagian atas pintu
gerbang tertulis sloka “Jaya Raya”, sedang di bagian bawah perisai terdapat
lukisan ombak-ombak laut. Pinggiran Perisai digaris tebal dengan warna
emas.Gerbang terbuka bagian atas berwarna putih, sedang huruf-huruf sloka “Jaya
Raya” yang tertulis diatasnya berwarna merah.
“Tugu Nasional” berwarna
putih.Untaian (krans) padi berwarna kuning dan untaian (krans) kapas berwarna
hijau serta putih.
Ombak-ombak laut
berwarna dan dinyatakan dengan garis-garis putih, kesemuanya ini dilukiskan
atas dasar ysng berwarna biru.
Pengertian
Lambang Daerah Khusus
lbukota Jakarta Raya melukiskan pengertian-pengertian sebagai berikut :
1. Jakarta sebagai kota
revolusi dan kota proklamasi kemerdekaan Indonesia :
2. Jakarta sebagai
lbu-Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian kota dilambangkan
dengan gerbang (terbuka).Kekhususan kota Jakarta sebagai kota revolusi dan kota
proklamasi dilambangkan dengan'Tugu Nasional" yang melambangkan kemegahan
dan daya juang dan cipta Bangsa dan rakyat Indonesia yang tak kunjung
padam.
“Tugu Nasional” ini
dilingkari oleh untaian padi dan kapas, dimana pada permulaan
tangkai-tangkainya melingkar sebuah tali berwarna emas, yakni lambang cita-cita
daripada perjuangan Bangsa Indonesia yang bertujuan suatu masyarakat adil dan
makmur dalam persatuan yang kokoh erat.
Dibagian bawah terlukis ombak-ombak laut
yang melambangkan suatu ciri khusus dari Kota dan negeri kepulauan Indonesia.
Keseluruhan ini dilukiskan atas dasar wama biru, wama angkasa luar yang membayangkan cinta kebebasan dan cinta darnai bangsa Indonesia.
Dan keseluruhan ini pula berada dalam gerbang, dan pada pintu gerbang itu terteralah dengan kemegahan yang sederhana sloka "Jaya Raya' satu sloka yang menggelorakan semangat segala kegiatan-kegiatan Jakarta Raya sebagai lbu-kota dan kota perjoangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dan keseluruhan ini pula berada dalam kesatuan yang seimbang pada bentuk perisai segi-lima yang bergaris tebal emas, sebagai pernyataan permuliaan terhadap dasar falsafah negara “Pancasila”
Keseluruhan ini dilukiskan atas dasar wama biru, wama angkasa luar yang membayangkan cinta kebebasan dan cinta darnai bangsa Indonesia.
Dan keseluruhan ini pula berada dalam gerbang, dan pada pintu gerbang itu terteralah dengan kemegahan yang sederhana sloka "Jaya Raya' satu sloka yang menggelorakan semangat segala kegiatan-kegiatan Jakarta Raya sebagai lbu-kota dan kota perjoangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dan keseluruhan ini pula berada dalam kesatuan yang seimbang pada bentuk perisai segi-lima yang bergaris tebal emas, sebagai pernyataan permuliaan terhadap dasar falsafah negara “Pancasila”
Tentang arti bentuk
lukisan serta wama masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bentuk
|
Pintu gerbang
|
-
Lambang kota, lambang kekhususan Jakarta
sebagai pintu keluar masuk kegiatan-kegiatan
nasional dan hubungan intemasional.
|
Tugu Nasional
|
- Lambang kemegahan, daya-juang dan cipta.
|
|
Padi/kapas
|
- Lambang kemakmuran.
|
|
Tali emas
|
- Lambang pemersatuan dan kesatuan.
|
|
Ombak laut
|
- Lambang kota, negeri kepulauan.
|
|
Sloka “Jaya Raya”
|
- Slogan perjuangan Jakarta
|
|
Bentuk perisai segi lima
|
- Pancasila
|
|
Warna
|
Mas pada pinggir perisai
|
- Kemuliaan Pancasila.
|
Merah sloka
|
- Kepahlawanan
|
|
Putih pintu gerbang
|
- Kesucian
|
|
Putih tugu nasional
|
- Kemegahan kreasi mulya
|
|
Kuning padi/hijau putih kapas
|
- Kemakmuran dan keadilan
|
|
Biru
|
- Angkasa bebas dan luas
|
|
Ombak putih
|
- Alam laut yang kasih.
|
Sumber
: Perda No. 6 Tahun 1963
Nilai
Budaya
Dalam kehidupan sehari-harinya
penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam anekaragam lingkungan
sosial dengan berbagai latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai
penjuru nusantara.
Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam
penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal yaitu menarik
garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu.
Adat menetap nikah sangat tergantung pada perjanjian kedua pihak
sebelum pernikahan berlangsung. Ada pengantin baru yang setelah menikah menetap
disekitar kediaman kerabat suami begitu pula sebaliknya.
Dalam rangka lingkaran hidup individu atau daur hidup, orang
betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai sejak bayi dalam kandungan
sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri seperti misalnya :
selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan dalam rangka
kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur’an (pengantin tamat), adat berpacaran
bagi kaum remaja (ngelancong), upacara perkawinan dan lain sebagainya.
Sesuai dengan latar belakang suku betawi ini, maka DKI Jakarta
menjadi tempat berpadunya berbagai budaya, akan tetapi kemudian muncul budaya
yang bisa disebut sebagai sesuatu yang khas seperti tarian betawi yang memiliki
ciri-ciri Melayu dan Arab maupun Cina.
Provinsi
JAWA
BARAT
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Jawa Barat
|
Ibukota Provinsi
|
:
|
Bandung
|
Luas Wilayah
|
:
|
35.377,76 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
42.332.370 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Sunda dan lain – lain
|
Agama
|
:
|
Islam : 34.884.290 (96,51%), Kristen Protestan :
449.261 (1,24%), Katholik : 254.336 (0,70%), Budha : 86.386 (0,24%), Hindu :
35.094 (0,10%) dan lain - lain 1.21% (Sumber: Jawa Barat dalam Angka
Th, 2001)
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 17, Kota : 9, Kec.: 626, Kel.:
641, Desa : 5.319 *)
|
Lagu daerah
|
:
|
Bubuy Bulan, Cing
Cangkeling, Manuk Dadali, Panon Hideung, Pileuleuyan, Tokecang
|
Website
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Sejarah "Sunda" yang dimaksud di sini bersifat umum
berdasarkan data atau tulisan terbatas yang digunakan. Menurut data dan
penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara
sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs Purbakala di Ciampea (Bogor),
Kelapa Dua (Jakarta), Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) memberi
bukti dan informasi bahwa lokasi - lokasi tersebut telah ditempati oleh
kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan organisasi sosial, sistem
mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana layaknya
kehidupan masyarakat betapapun sederhananya.
Era sejarah di Tanah Sunda baru mulai pada pertengahan
abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah
prasasti yang dipahat batu dengan menggunakan bahasa Sangsekerta dan Aksara
Pallawa. Prasasti - prasasti itu yang diketemukan di Ciaruteun daerah Bogor,
Bekasi dan Pandeglang dibuat zaman kerajaan Tarumanegara dengan salah seorang
rajanya bernama Purnawarman dan Ibukotanya terletak di Bekasi sekarang. Pada
masa itu sampai abad ke-7, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, agama Hindu
sebagai agama resmi negara, sistem kasta berbentuk stratifikasi sosial dan hubungan
antar negara telah mulai terwujud walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, India dan China merupakan
negeri luar yang menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanegara, tetapi
kebudayaan Hindu dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Kerajaan
Sunda baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan
Tarumanegara, pusat kerajaannya berada sekitar Bogor sekarang. Paling tidak ada
tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan, pertama dua buah
prasasti (Bogor dan Sukabumi). kedua beberapa buah naskah lama (Carita
Parahiyangan, Sanghiyang siksa kendang karesian). Ibu kota kerajaan Sunda di
namai Pakuan Padjadjaran.
Dalam tradisi lisan dan Naskah sesudah Abad ke-17, Pakuan
biasa disebut untuk nama Ibu kota sedangkan Padjadjaran untuk menyebutkan
kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira
6 abad, karena runtuh sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa
kejayaan antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi
seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan
dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada
dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga
Maharaja). Ibu kotanya pernah berada di Kawali,
Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan
Majapahit, karena masalah pernikahan putri Sunda dengan raja Majapahit Hayam
Wuruk.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), dan putranya, Prabu
Surawisesa(1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi
dan keamanan antara kerajaan Padjadjaran dengan Portugis yang berkedudukan di
Malaka. Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang bisa diekspor. Kota Pelabuhan yang besar antara
lain Banten, Sunda Kelapa (Jakarta sekarang) dan Cirebon, sistem ladang
merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat yang menghubungkan
Ibukota kerajaan dengan Banten disebelah barat, Kelapa disebelah utara, serta
Cirebon dan Galuh disebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara
dihubungkan dengan jalur lalu lintas sungai dan jalan menyusuri pantai.
Pedagang Islam sudah berdatangan ke kota - kota pelabuhan Kerajaan Sunda untuk
berdagang dan memperkenalkan ajaran Islam. Lama kelamaan para pedagang Islam
bermukim di kota - kota pelabuhan Sunda, terutama di
Banten, Karawang dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang menganut
Agama Islam. Berkat dukungan Kesultanan Demak
berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan
selanjutnya mendesak kekuasaan kerajaan Sunda sampai akhirnya menumbangkan sama
sekali (5179). Sementara di daerah pesisir berkembang kekuasaan
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di daerah pedalaman muncul
kabupaten - kabupaten yang masing-masing berdiri
sendiri, yaitu : Sumedang, Galuh, Sukapura,
Limbangan, Parakanmuncung, Bandung, Batulayang dan Cianjur.
Periode selajutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda
mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia)
masuk kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah
timur kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan - lahan tapi pasti akhirnya seluruh
Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19) karena
itu mulailah zaman kekuasaan kolonial
Hindia Belanda.
Tanah Sunda yang subur dan orang - orang yang rajin bekerja menjadikan
pengeksploitasian tersebut sangat mengutungkan penguasa kolonial Belanda
sehingga membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal disini dan
yang berada di tanah leluhurnya (Belanda).Sebaliknya rakyat pribumi tidak
mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan
banyak yang hidupnya menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat
dan kerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak.
Pada sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan
ketidakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat. Di bawah beberapa
pemimpinnya timbulah serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti yang dipimpin oleh
Dipati Ukur di Priangan (1628 - 1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659 - 1683), Prawatasari di
Priangan (1705 - 1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750 - 1752), Bagus Rangin (1802 - 1818), Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).
Ketidakpuasan masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa
kolonial mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat melalui program
pendidikan, pertanian, perkreditan dan juga menerapkan sistem ekonomi bagi
Pemerintahan Pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan
organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pasundan
dan Partai Nasional Indonesia.
Melalui pendudukan Militer Jepang (1942 - 1945) yang mengakhiri kekuasaan kolonial Hindia Belanda (menyerah di
Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan menumbuhkan keberanian di
kalangan orang pribumi untuk melawan kekuasaan asing dan memberikan bekal
keterampilan perang pada tahun 1945 masyarakat Sunda, umumnya masyarakat
Indonesia berhasil mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu
masyarakat dan Tanah Sunda berada dalam lingkungan negara Republik Indonesia.
Secara historis Propinsi Jawa Barat yang dibentuk berlandaskan Undang - undang No. 11 Tahun 1950 dengan Bandung sebagai ibukotanya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pemerintah Daerah
berpedoman pada Undang - undang Dasar 1945, Undang - undang No.5 Tahun 1974tentang Pemerintahan di
Daerah dan peraturan perundangan lainnya, dan dalam perkembangan terakhir dengan berlakunya Undang - undang
No. 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan Otonomi
Daerah.
Dengan terbentuknya Propinsi Banten pada bulan Nopember
tahun 2000, jumlah PemerintahKabupaten/Kota di Jawa Barat terdiri dari 16
Kabupaten, yaitu Karawang, Bekasi, Purwakarta,
Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur,
Bandung, Garut, Tasikmalaya,
Ciamis, Sumedang, Majalengka, Cirebon,
Indramayu, Kuningan dan 9 Kota,
yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, Cirebon,
Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar.
Arti
Logo
Lambang berbentuk bulat telur, bentuk ini
berasal dari bentuk perisai yang banyak dipakai oleh laskar-laskar kerajaan
zaman dahulu :
KUJANG
- Gambar pokok
- Sebuah alat serbaguna yang sangat dikenal disetiap rumah tangga sunda
- Jika perlu dapat dipergunakan sebagai alat penjaga diri
- 5 lubang melambangkan Lima Dasar Negara "Pancasila"
PADI
- melambangkan PANGAN yang merupakan bahan makanan pokok di Jawa Barat
- Jumlah padi 17 melambangkan hari ke 17 dari bulan Proklamasi
KAPAS
- Melambangkan SANDANG
- Jumlah kapas 8 buah melambangkan bulan ke 8 dari tahun Proklamasi
- Padi dan Kapas pada dasar hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran tanah Jawa Barat
GUNUNG
Bagian terbesar dari daerah Jawa Barat adalah pegunungan
SUNGAI DAN PERKEBUNAN
Melambangkan sungai, terusan dan saluran air yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat
SAWAH DAN PERKEBUNAN
- Jumlah sawah terbesar di seluruh daerah Jawa Barat
- Perkebunan berada di bagian tengah dan selatan daerah Jawa Barat
DAM DAN BENDUNGAN
Usaha dan pekerjaan di bidang irigasi merupakan salah satu pekerjaan yang mendapat perhatian, mengingat sifat agraris daerah Jawa Barat
KUJANG
- Gambar pokok
- Sebuah alat serbaguna yang sangat dikenal disetiap rumah tangga sunda
- Jika perlu dapat dipergunakan sebagai alat penjaga diri
- 5 lubang melambangkan Lima Dasar Negara "Pancasila"
PADI
- melambangkan PANGAN yang merupakan bahan makanan pokok di Jawa Barat
- Jumlah padi 17 melambangkan hari ke 17 dari bulan Proklamasi
KAPAS
- Melambangkan SANDANG
- Jumlah kapas 8 buah melambangkan bulan ke 8 dari tahun Proklamasi
- Padi dan Kapas pada dasar hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran tanah Jawa Barat
GUNUNG
Bagian terbesar dari daerah Jawa Barat adalah pegunungan
SUNGAI DAN PERKEBUNAN
Melambangkan sungai, terusan dan saluran air yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat
SAWAH DAN PERKEBUNAN
- Jumlah sawah terbesar di seluruh daerah Jawa Barat
- Perkebunan berada di bagian tengah dan selatan daerah Jawa Barat
DAM DAN BENDUNGAN
Usaha dan pekerjaan di bidang irigasi merupakan salah satu pekerjaan yang mendapat perhatian, mengingat sifat agraris daerah Jawa Barat
ARTI MOTTO
DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
GEMAH RIPAH REPEH RAPIH
Sebuah pepatah lama di kalangan masyarakat sunda yang berarti
bahwa daerah Jawa Barat
yang kaya raya ini didiami oleh penduduk yang padat serta hidup
makmur dan damai
Nilai
Budaya
Upacara
adat perkawinan Sunda merupakan tambahan dari acara pokoknya, yaitu ijab dan
qobul sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Agama Islam. Tambahan acara ini
seringkali menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh yang hadir karena
mengandung hal-hal yang bersifat humoris dan ada sesuatu yang dibagikan kepada
hadirin. Namun demikian, acara adat tersebut tidaklah ada kaitannya dengan
acara pokok akad nikah. Hal demikian itu, hanya sekedar hiburan sebagaimana
halnya penyajian lagu-lagu, kasidahan atau orkes dangdut.
Bagian-bagian
acara adat yang biasa dilaksanakan meliputi; nincak endog (menginjak telur)
yang maksudnya adalah bahwa si mempelai penganten itu akan memulai malam
pertamanya dengan indah. Ketika melaksanakan malam pertama itu, si penganten
harus benar-benar hati-hati dan tidak “grasa-grusu”, sehingga nantinya menghasilkan
yang baik. Nincak elekan (menginjak
semacam bamboo yang biasa dibuat suling) maksudnya hamper sama. Hanya saja ini
disimbolkan kepada “wanita”, sedangkan telor, lebih disimbolkan kepada
laki-laki.
Selanjutnya, Meuleum Harupat (membakar
segenggam yang berisi tujuh buah potongan lidi), maksudnya adalah membuang
atau membakar sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia, seperti : iri,
dengki, mudah tersinggung, pemarah, kikir, tamak dan sombong. Kemudian, Meupeuskeun kendi (memecahkan
kendi), yang maknanya sama dengan akan melepasnya masa bujang dan gadis pada
malam pertama.
Sedangkan, Ngaleupaskeun Japati (melepaskan
burung dara) dan Melempar
kanjutkunang (melempar tas kecil terbuat dari kain) kepada
yang hadir, adapt ini melambangkan/symbol, bahwa kedua orang tua melepas
penganten yang terakhir di keluarganya. Jadi yang terdapat dikeluarhganya
dihabiskan atau dibagikan sebagai ungkapan rasa kebahagiaan atau pula sebagai
tanda bahwa orang tua tersebut mengawinkan anaknya yang terakhir.
Setelah
itu acara sawer,
yaitu melemparkan barang-barang seperti, beras kuning, permen, dan uang recehan
seraya dibarengi lagu-lagu yang berisi pepatah bagi pengantin. Beras kuning,
permen dan uang recehan adalah symbol keduniaan yang harus dicari oleh
khususnya pihak laki-laki dan dipelihara oleh pihak wanita (isteri).
Setelah
sawer kemudian dilakukan acara buka
panto (buka pintu) yang dimaksudkan pembelajaran kepada
pengantin dalam hal tata krama di rumah antara suami dan isteri.
Akhir dari acara adat pengantin sunda adalah acara “huap
lingkung” yang berisi saling menyuapi dengan air minum, nasi kuning dan
pabetot-betot bakakak (saling menarik ayam panggang) bagi yang dapat bagian
terbesar dari ayam tersebut adalah pertanda akan mendapat rezeki yang banyak
(jikalau diusahakan dengan baik). Pada acara huap lingkung inipun, dilakukan
huap deudeuh dan huap geugeut yang artinya saling memberi sebagai tanda kasih
sayang.
Sehari sebelum acara perkawinan dimulai, dilakukan terlebih dahulu acara siraman terhadap kedua calon mempelai (secara terpisah) oleh kedua orang tua calon mempelai. Acara ini meliputi kegiatan; mandi kembang, berjalan diatas tujuh helai kain samping dan pengajian sebagai ugkapan permohonan keselamatan. Acara siraman ini dimaksudkan sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir khususnya dalam memandikannya karena setelah berkeluarga diserahkan kepada masing-masing. Acara sebelum hari pokok ini hampir sama untuk setiap daerahnya, baik acara Penganten jawa atau bahkan Sumatera.
Mengenai
Lamanya acara adat ini, biasanya sekitar dua jam dan dipandu oleh juru
rias serta MC yang mengambil tempat biasanya di depan rumah (halaman depan)
atau diselenggarakan secara khusus di gedung tempat resepsi dengan harapan
dapat disaksikan oleh para tamu undangan.
Tidak
semua acara perkawinan diikuti acara adat. Mungkin bagi mereka yang ingin
simple-simpel saja pasti tidak dilakukan, tapi bagi mereka keluarga yang masih
memegang kuat adapt walaupun anak-anaknya tidak saja, apa boleh buat harus
diikuti. Sekali lagi diingatkan, bahwa acara adat itu sekedar tambahan yang
bersifat hiburan dan tidak mengandung makna ibadah langsung. Sekedar
meramaikan. Dikerjakan boleh, tidakpun tidak apa-apa.
Provinsi
JAWA TENGAH
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
|
Ibukota
|
:
|
Semarang
|
Luas Wilayah
|
:
|
32.800,69 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
34.897.757 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Jawa
|
Agama
|
:
|
Islam : 14.942.383 jiwa, Kristen
Protestan : 241.423 jiwa, Katholik : 181.340 jiwa, Buddha : 34.182 jiwa,
Hindu : 13.988 jiwa, dan lainnya : 6.531 jiwa.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 29, Kota : 6, Kec.: 573,
Kel.: 750, Desa : 7.809 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Gambang Suling, Suwe Ora Jamu,
Gundul Pacul, Lir Ilir
|
Website
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
I. SEJARAH PERKEMBANGAN PROPINSI JAWA TENGAH
Sebagai
suatu Propinsi, Jawa Tengah sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda
didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku pada saat itu.
A. Jaman Penjajahan Belanda
Berdasarkan
Wet houdende decentralisatie van het Bestuur in Nederland -Indie
(Decentralisatie Wet 1903), maka pemerintahai di Jawa dan Madura terbagi atas
Gewest (Karesidenan), Afdeeling/Regentschap (Kabupaten), District /
Standgeemente (Kotapraja), dan Oderdistrict(Kecamatan).
B. Jaman Pendudukan Jepang
Pada
masa pendudukannya, Jepang mengadakan perubahan Tata Pemerintahan Daerah yaltu
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 (Tahun Jepang 2062) yang menetapkan bahwa
seluruh Jawa kecuali Vorstenkendeh (Kerajaan-kerajaan) terbagi dalam wilayah
Syuu (Karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son
ConderDistrikdan Ku(Kelurahan)
C. Setelah Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945.
Berdasarkan
Pasal 18 UUD 1945, diterbitkan UU No. 10 Tahun 1950 yang menetapkan Pembentukan
Propinsi Jawa Tengah. Sesual dengan PP No. 31 Tahun 1950, UU No.10 Tahun 1950,
dinyatakan berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950.
Selanjutnya
berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tenciab Nomor 7 Tahun 2004
ditetapkan Hari Jadi Propinsi Jawa Tengah tanggal l5 Agustus 1950.
II. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN PROPINSI JAWA TENGAH
UU Pengaturan Pemerintah Daerah
Sejak
merdeka hingga sekarang peraturan per Undang-Undangan yang mengatur tentang
system Pemerintah Daerah adalah :
1.
UU No. 1 Tahun 1945, dengan prinsip otonomi berdasarkan kedaulatan rakyat;
2.
UU No. 22 Tahun 1945, dengan prinsip otonomi sebanyak banyaknya;
3.
UU No. 1 Tahun 1957, dengan prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya;
4.
PenPres No. 6 Tahun 1959;
5.
UU No. 18 Tahun 1965, dengan prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya.
6.
UU No. No. 5 Tahun 1974, dengan prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab;
7.
UU No. 22 Tahun 1999, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan
bertangungjawab;
8.
UU No. 32 Tahun 2004, dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
Arti Logo
Bentuk Kundi Amarta
yang berbentuk dasar segi limamelambangkan dasar falsafah Negara yakni Pancasila.
Laut bergelombang melambangkan
kehidupan masyarakat di Jawa Tengah.
Candi Borobudur melambangkan
Daya Cipta yang besar Tradisi yang baik dan Nilai-nilai Kebudayaan yang khas
dari Rakyat Jawa Tengah.
Gunung Kembar mempunyai arti
idiil bersatunya rakyat dan Pemerintah Daerah.
Perpaduan antara Laut
dan Gunung Kembar dengan latar belakangnya yang hijau menggambarkan
keadaan alamiah Daerah Jawa Tengah dengan bermacam-macam kekayaan alamnya
sebagai kehidupan dan penghidupan Rakyat Jawa Tengah.
Bambu Runcing melambangkan
Kepahlawanan dan Keksatriaan Rakyat Jawa Tengah.
Bintang bersudut
Lima berwarna kuning emas yang
disebut juga "Nur Cahaya"melambangkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha
Esa dari Rakyat Jawa Tengah.
Padi dan Kapas melambangkan
Kemakmuran Rakyat JawaTengah.
Umbul-umbul Merah
Putih melambangkan
Daerah Jawa Tengah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perpaduan antara
Bintang, Padi dan Kapas melambangkan hari depan Rakyat Jawa Tengah menuju ke
Masyarakat Adil dan Makmur yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Perpaduan antara Bulir
Padi yang berbiji 17, Bambu Runcing yang beruas 8 serta Ranting Kapas yang
berdaun 4 dan berbuah 5 merupakan rangkaian angka-angka yang mewujudkan saat yang
bersejarah serta keramat "17 Agustus 1945" yang wajib kita agungkan.
Nilai Budaya
Jawa Tengah terdiri dari 3 (tiga) lingkungan budaya, yaitu
Lingkungan budaya Pesisir, Lingkungan budaya Bagelan – Banyumas, dan
Budaya Kraton, dengan pelestarian budaya antara lain Upacara :Tingkeban,
Brokohan, Puputan, Selapanan, Tedhak Siten, Ruwatan, Bersih Desa, Siraman
Pusaka, Nyadran, dan Sedekah Laut.
Jawa Tengah memiliki peninggalan budaya antara lain : Candi
Borobudur, Mendut & Pawon, Dieng, Gedongsongo, Prambanan.
Filsafat hidup masyarakat :
Ojo dumeh, untuk mengendalikan diri agar tidak sombong misalnya
ojo dumeh gek kuwoso (baru dikaruniai kekuasaan), ojo dumeh sugih (baru
dikaruniai kekayaan), ojo dumeh wong pangkat (baru dikaruniai jabatan), dsb.
Mulad Sariro Hangrosowani, manusia harus mau dan mampu untuk
berinstropeksi diri agar dalam melaksanakan kehidupan sehari - hari tidak
keliru.
Surodiro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti, semua kejahatan
dan keburukan itu akan hancur oleh kebaikan.
Alon-alon waton kelakon, semua yang akan dikerjakan harus
diperhitungkan secara cermat dan berhati - hati, tldak tergesa - gesa agar
dapat sesuai dengan cita-cita dan rencana semula.
Provinsi
DI YOGYAKARTA
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
|
Ibukota
|
:
|
Yogyakarta
|
Luas Wilayah
|
:
|
3.133,15 Km² *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
3.542.078 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Jawa, Sunda Parahiyangan, Melayu,
Cina, Batak (Tapanuli), Minang Kabau, Bali, Madura, dan Lain-lain.
|
Agama
|
:
|
Islam : 3.084.990 Jiwa,
Kristen Protestan : 92.097 Jiwa, Kristen Katholik : 162.806 Jiwa, Budha :
5.387 Jiwa, Hindu : 5.798 Jiwa.
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 4, Kota: 1, Kec.:
78, Kel.: 46, Desa : 392 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Pitik Tukung, Sinom
|
Website
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Daerah
Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah
otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di
Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus
statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan
dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut
Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa
Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727)
sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya
yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berartiYogya
yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan,
nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit
Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari,
Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum
Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan
karena Yogyakartaadalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga
Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan
pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende
Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah
Swapraja.
Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri
sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono
II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik
Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di
dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum
dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman
dalam Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada
saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam
VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik
Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung
kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :
1.
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam
VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
2.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam
VIII tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
3.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
Dari
4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara
Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang
sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat
riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang
berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri
tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai,
melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang
pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi
monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Pada
saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan
Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang
sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa
dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Dengan
dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah
Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa
untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan
perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal
18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam
Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.
Sebagai
Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan
Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut.
Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas
Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
Sebagai
ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat,
baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota
perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Sebutan
kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan
peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia
pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat
kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten
Pakualaman.
Sebutan
kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan
peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan
tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan
dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak
digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan
Kerajaan Mataram.
Predikat
sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota
ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan
di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat
banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan
bila Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia.
Sebutan
Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi
propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan
wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di
wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata
pendidikan, bahkan, yang terbaru, wisata malam.
Disamping
predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan hal menarik
untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY sekaligus statusnya sebagai
Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan
runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Arti Logo
·
Landasan Idiil Pancasila, digambarkan dengan bintang emas
bersegi lima (Ketuhanan Yang Maha Esa), tugu dan sayap
mengembang (Kemanusiaan yang adil dan beradab), bulatan-bulatan
berwarna merah dan putih (Persatuan Indonesia), ombak, batu
penyangga saka guru/tugu(Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan), danpadi-kapas (Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia).
·
17 bunga kapas, 8 daun kapas dan 45 butir padi adalah lambang Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.
·
Bulatan (golong) dan tugu berbentuk silinder (giling) adalah lambang tata kehidupan gotong
royong.
·
Nilai-nilai keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, digambarkan dengan bintang emas
bersegi lima dan sekuntum bunga melati di puncak tugu. Bunga melati dan
tugu yang mencapai bintang menggambarkan rasa sosial dengan pendidikan dan
kebudayaan luhur serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga melati yang
sering digunakan dalam upacara sakral mengandung nilai seni, budaya dan
religius.
·
Warna-warna merah putih yang dominan, serta tugu yang tegak adalah lambang semangat perjuangan dan
kepahlawanan tatanan "mirong" pada hiasan saka guru sebagai
hiasan spesifik Yogyakarta, adalah lambang semangat membangun.
·
Sejarah terbentuknya Daerah Istimewa Jogjakarta dilukiskan dengan sayap
mengembang berbulu 9 helai di bagian luar dan 8 helai di bagian dalam,
menggambarkan peranan Sri sultan Hangmengkubuwono IX dan Sri Paku alam VIII,
yang pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanatnya untuk menggabungkan
daerah Kasultanan Jogjakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa
Jogjakarta.
·
Warna hijau tua dan hijau muda adalah lambang keadaan alam Daerah Istimewa
Jogjakarta dilukiskan dengan karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah
perbukitan yang kering.
·
Candrasengkala / Suryasengkala terbaca dalam huruf jawa adalah lambang rasa Suka Ngesthi Praja,
Yogyakarta Trus Mandhiri, yang artinya dengan berjuang penuh rasa optimisme
membangun Daerah Istimewa Jogjakarta untuk tegak selama-lamanya: rasa (6) suka
(7) ngesthi (8) praja (1) tahun jawa 1876, Jogja (5) karta (4) trus (9)
mandhiri (1) tahun masehi 1945, yaitu tahun de facto berdirinya Daerah Istimewa
Jogjakarta.
·
Tugu yang dilingkari dengan padi dan kapas adalah lambang persatuan, adil dan makmur.
·
Ukiran, sungging dan prada yang indah adalah lambang nilai-nilai
peradaban yang luhur digambarkan secara menyeluruh berwujud.
Nilai Budaya
Upacara
Labuhan
|
:
|
Parang
Tritis, Parang Kusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kayangan
|
Upacara Grebeg
|
:
|
Grebeg Poso pada tanggal 1 Syawal,
Grebeg Besar pada tanggal 10 Besar, Grebeg Mulud pada tanggal 12 Rabbiulawal
|
Upacara Saparan
|
:
|
Bulan Sapar di Gamping Sleman
|
Upacara Metri Desa (Bersih Desa)
|
:
|
Di semua desa di wilayah Daerah
Istimewa Jogjakarta
|
Falsafah masyarakat
setempat
Dasar falsafah pembangunan daerah Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) adalah Hamemayu Hayuning Bawono, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Jogjakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hamemayu Hayuning Bawono bermakna suatu filosofi kepemimpinan yang selalu mengupayakan peningkatan kesejahteraan rakyat dan mendorong terciptanya sikap serta perilaku hidup individu yang menekankan keselarasan dan keserasian antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Illahi dalam melaksanakan hidup dan kehidupannya.
Hakikat budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa, yang
diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah. Demikian pula budaya
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang diyakini sebagai salah satu acuan dalam
kehidupan bermasyarakat. Secara filosofis, budaya jawa, khususnya budaya Ngayogyakarta
Hadiningrat dapat digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat ayom,
ayem, tata, titi tentrem, karto raharjo. Dengan perkataan lain, budaya tersebut
akan bermuara pada masyarakat yang penuh dengan kedamaian, keamanan,
keteraturan, dan sejahtera.
Provinsi
JAWA
TIMUR
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Jawa Timur
|
Ibukota
|
:
|
Surabaya
|
Luas Wilayah
|
:
|
47.799,75 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
39.107.095 jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Jawa, Madura, Tengger, Osing
|
Agama
|
:
|
Islam : 96,3%, Kristen Protestan : 1,6 %, Katholik : 1
%, Budha : 0,4 %, Hindu : 0,6 %
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 29, Kota : 9, Kec.: 664, Kel.:
776, Desa : 7.723 *)
|
Batas Wilayah
|
:
|
Propinsi Jawa Timur berada diantara Propinsi Jawa
Tengah dan Propinsi Bali. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan
Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia. Selain daratan di Pulau Jawa,
Propinsi Jawa Timur memiliki lebih dari 60 pulau, pulau terbesar adalah
Pulau Madura.
|
Lagu Daerah
|
:
|
Keraban Sape, Tanduk Majeng
|
Website
|
:
|
*) Sumber
: Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
|
Sejarah
Jawa Timur pernah menjadi pusat
kekuasaan dan pemerintahan raja-raja dari
abad X sampai abad XIII, yaitu pada masa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit. Kerajaan Majapahit
yang berdiri tahun 1292 mencapai puncak kejayaannya
berhasil mempersatukan Wilayah Nusantara, yang wilayah kekuasaannya hingga Semenanjung Malaka, Muangthai dan
beberapa pulau di Philipina Selatan. Pada masa tersebut Agama Hindu dan Budha
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sampai abad XIV dan setelah
Kerajaan Islam memerintah pada awal abad XVI, pengaruh Hindu dan Budha menepi
ke daerah Blambangan dan Bali.
Arti
Logo
Daun lambang bentuk perisai, adalah lambang keamanan dan
ketentraman serta kejujuran melambangkan dasar dan keinginan hidup rakyat Jawa
Timur yang merupakan daerah yang termasuk aman.
Bintang dengan warna kuning emas, adalah lambang Ke Tuhanan Yang Maha
Esa, bersudut lima dan bersinar lima adalah melambangkan Pancasila merupakan
dasar dan falsafah Negara yang senantiasa dijunjung tinggi dan selalu menyinari
jiwa rakyatnya (dalam hal ini rakyat Jawa Timur) khususnya jiwa Ke Tuhanan Yang
Maha Esa.
Tugu Pahlawan, adalah lambang kepahlawanan, untuk
melukiskan sifat dan semangat kepahlawanan rakyat Jawa Timur (khususnya
Surabaya). Dalam mempertahankan kedaulatan dan wilayah tanah airnya.
Gunung berapi yang selalu mengepulkan
asap, adalah lambang keteguhan dan kejayaan tekad Jawa Timur dengan
semangat dinamis, revolusioner pantang mundur dalam menyelesaikan revolusi
menuju cita-cita rakyat adil dan makmur, selain itu juga menggambarkan bahwa
wilayah Jawa Timur mempunyai banyak gunung-gunung berapi.
Pintu gerbang (dari Candi) dengan warna abu-abu, adalah lambang cita-cita perjuangan
serta keagungan khususnya Jawa Timur di masa silam yang masih nampak dan
sebagai lambang batas perjuangan masa lampau dengan masa sekarang, yang
semangatnya tetap berada di tiap-tiap patriot Indonesia yang berada di Jawa Timur.
Sawah dan ladang, yang dilukiskan pada bagian-bagian dengan
warna kuning dan hijau, adalah lambang kemakmuran
yaitu bahwa Jawa Timur memiliki sawah dan Iadang yang merupakan sumber dan alat
untuk mencapai kemakmuran.
Padi dan kapas, adalah lambang sandang pangan, yang
menjadi kebutuhan pokok rakyat sehari-hari, gambar padi berbutir 17 buah,
sedangkan kapas tergambar 8 buah, melambangkan saat-saat keramat bagi bangsa
Indonesia yaitu tanggal 17 - 8 - 1945.
Sungai yang bergelombang, menunjukkan bahwa Jawa Timur
mempunyai banyak sungai yang mengalir untuk mengairi sawah dan sumber
kemakmuran yang lainnya di Jawa Timur.
Roda dan rantai, melukiskan situasi Jawa Timur pada masa sekarang yang
sudah mulai pesat pembangunan pabrik-pabrik dan lain-lain dalam rangka
pembangunan Jawa Timur di bidang industri, dan melambangkan pula tekad yang tak
kunjung padam serta rasa ikatan persahabatan yang biasa ditunjukkan oleh rakyat
Jawa Timur kepada pendatang dan peninjau dari manapun.
Pita berisikan tulisan Jawa Timur, menunjukkan lambang daerah Propinsi Jawa Timur.
Pita dasar dengan warna putih berisi tulisan JER BASUKI
MAWA BEYA, menunjukkan
motto Jawa Timur yang mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan
diperlukan pengorbanan.
Nilai Budaya
Pakaian Khas Jawa Timur
(PKJT) :
Warna hitam dari bahan sutera dengan ikat kepala (udeng)
dilengkapi asesoris berupa rantai emas dengan kuku macan.
Kepercayaan Tradisional :
- Kejawen
- Hindu
Tengger
- Sapto
Dharmo
- Wisnu
Upacara-upacara adat :
Kasodo, Petik Laut, Jalanidipuja, Larung Laut, Kebo-keboan,
Mandi Sedudo, Siraman Gong Kyai Pradah, Labuhan
Maulud.
Falsafah hidup masyarakat setempat :
- Jer
Basuki Mawa Beya
- Sumpah
Palapa
- Sepi
Ing Pamrih Rame Ing Gawe
Seni Tradisional yang datang dari luar Banten tapi telah mengalami proses akulturasi budaya sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten. Termasuk katagori ini adalah seni-seni kuda lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar