Selasa, 16 Desember 2025

Suksesnya 7 KAIH Dapat Tercapai dengan Memaksimalkan Peranan Orang Tua sebagai Teladan

 


Program Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mampu membangun kedisiplinan bagi anak, dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat, serta Tidur Cepat, merupakan aktivitas sehari-hari yang memiliki kekuatan untuk membentuk karakter anak.

Namun tantangannya saat ini adalah bagaimana anak-anak bisa tetap konsisten, tetap bersemangat untuk terus melakukan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, maka perlu dukungan dari para orang tua dan juga guru, sebagai teladan dan contoh bagi anak-anak.

Hal tersebut dikatakan Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Kemendikdasmen, Rusprita Putri Utami, saat membuka kegiatan Talkshow 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dengan tema ‘Membangun Karakter Anak Hebat Melalui Kebiasaan Positif dengan Pendekatan Penuh Kasih’, Sabtu (13/12). Bahwa peran orang tua dan guru yang paling penting adalah menjadi teladan bagi anak-anak, bagaimana mereka bisa mengajarkan, dan juga mampu menjadi pendamping bagi anak-anak.

“Kita tidak mungkin minta anak-anak kita bangun pagi kalau ayah bundanya bangunnya siang, begitu pun dengan Bapak-Ibu guru, minta anak-anak jangan terlambat datang sekolah, tapi kalau Bapak-Ibu gurunya juga datangnya terlambat tentu anak juga akan melihat begitu ya,” ujar Rusprita.

Pada kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Bidang Pendidikan Inklusif dan Pemerataan Pendidikan di Daerah 3T Kemendikdasmen, Rita Pranawati, bahwa Pekerjaan Rumah (PR) orang tua saat ini adalah bagaimana mengatasi mager (malas gerak) pada anak-anak dan mengurangi ketergantungan akan penggunaan gawai. Orang tua memiliki peranan penting untuk mendampingi anak-anak mereka, namun hal tersebut tentunya juga punya tantangan tersendiri.

“Anak-anak tidak terlalu banyak main gawai, coba diajak keluar bermasyarakat, ini sepele banget tapi menantang sekali, karena katanya pengasuh terbaik itu adalah gawai, begitu dikasih gawai terus diam. Ini mudah diucapkan tapi sebenarnya praktiknya sangat menantang, dan butuh komitmen serta peran orang tua. Bapak/Ibu perlu menjadi orang tua yang kreatif, aktivitas itu tidak selalu mahal, dan Bapak/Ibu harus menyediakan aktivitas alternatif itu, bukan hanya melarang anak tidak boleh main gawai,” jelas Rita.

Pada kegiatan Talkshow 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat ini menghadirkan 3 narasumber inspiratif yang pertama adalah Dwi Hastuti, Guru Besar Bidang Ilmu Pengasuhan Anak IPB yang membahas pentingnya kebiasaan positif dari sudut pandang perkembangan anak. Menurutnya, definisi anak hebat bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter kuat dan peran keluarga dan lingkungan, terutama pola asuh, terhadap pembentukan karakter anak Indonesia.

Kemudian, pada kesempatan yang sama, Psikolog Klinis, Muharini Aulia, menjabarkan Pendekatan Penuh Kasih sebagai Intervensi: Menggunakan kasih sayang bukan hanya sebagai nurturing, tetapi sebagai alat untuk validasi emosi dan membentuk safe attachment. Ia menyampaikan, Prinsip Behavioral Parenting Sederhana: menggunakan prinsip psikologi klinis untuk menanamkan 7 Kebiasaan Anak Hebat secara konsisten. Strategi psikologis untuk menghadapi penolakan anak terhadap kebiasaan baru tanpa menggunakan hukuman.

Tak ketinggalan, hadir sebagai narasumber Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, yang menekankan peran penting ayah dalam menanamkan kebiasaan, tanggung jawab, dan membangun karakter anak hebat. Ia juga menekankan peran orang tua memimpin dengan teladan dalam membentuk kebiasaan, bukan sekadar memerintah.*** (Penulis & Fotografer: Morecka/Editor: Denty A.)

 

Biro Komunikasi dan Hubungan MasyarakatSekretariat Jenderal

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah

 

Laman: kemendikdasmen.go.id

Komunikasi Asertif: Jalan Menuju Lingkungan Kerja yang Sehat dan Kondusif

 Konflik pelik akibat terjadinya kesalahpahaman dalam berkomunikasi sering kali menciptakan rasa tidak nyaman dalam lingkungan kerja, maka itu tidak heran bila ilmu komunikasi menjadi penting. Tidak sekadar soal menyampaikan pesan, komunikasi mencakup kemampuan memahami konteks, menangkap makna tersirat, serta membangun hubungan yang sehat antara individu maupun kelompok. Namun, dalam dunia kerja konflik permasalahan komunikasi acapkali timbul mulai dari antar unit kerja, antar tim kerja, antara atasan dan bawahan, bahkan dengan sesama rekan kerja.

Budaya ewuh pakewuh atau canggung karena rasa tidak enak hati yang diterapkan secara berlebihan menjadi salah satu penyebab dalam permasalahan komunikasi menjadi berlarut-larut. Contoh nyata yang seringkali terjadi di tempat kerja di antaranya pegawai yang merasa tidak berani memberikan masukan pada saat rapat, terlebih bila pimpinan rapatnya memiliki temperamental tinggi. Lalu, atasan yang kecewa karena merasa tidak puas dengan kinerja bawahannya namun enggan mengomunikasikannya.

Selain itu, ada juga kasus di mana anggota tim yang merasa sungkan menyampaikan keberatan kepada Ketua Tim kerja manakala mendapat beban tugas yang berat secara terus menerus di luar porsi  tugas dan kewenangannya. Serta, pemimpin yang mengeluhkan bawahannya tetapi memilih melakukan pembiaran terhadap pegawai yang melanggar disiplin, dan masih banyak contoh lainnya. Permasalahan komunikasi ini dapat mengganggu keharmonisan hubungan kerja dan bila terjadi pembiaran dalam jangka panjang akan menjadi bom waktu yang berdampak pada kinerja pegawai dan produktivitas dalam organisasi.

Komunikasi asertif di tempat bekerja

Dalam penerapannya, komunikasi asertif memiliki pendekatan yang berbeda dengan komunikasi efektif meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama. Pendekatan komunikasi efektif lebih fokus pada penyampaian pesan yang jelas, sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan komunikasi asertif lebih fokus pada penyampaian pendapat dan kebutuhan dengan tegas dan lugas dengan tetap menghormati hak orang lain. Alberti, et al (2017) menjelaskan bahwa komunikasi asertif adalah gaya komunikasi seseorang yang mampu menyatakan pendapat, menyampaikan kebutuhan dan perasaannya secara jujur, tegas, lugas, serta sopan tanpa memaksa dan melanggar hak orang lain. Artinya, komunikasi asertif memungkinkan seseorang untuk menyuarakan apa yang ia pikirkan dan rasakan dengan cara yang jelas dan terbuka, namun tetap mempertimbangkan hak dan kenyamanan orang lain dengan penuh empati dan rasa hormat.

Seseorang yang melakukan komunikasi secara asertif mampu mengatakan “tidak”, berani menyampaikan keberatan dan kritik yang konstruktif secara terbuka. Hal ini menandakan bahwa komunikasi asertif adalah instrumen penting dalam mendukung transparansi komunikasi di lingkungan kerja. Dengan perilaku asertif ini justru lingkungan kerja menjadi terasa lebih profesional, tidak ada batasan karena perasaan sungkan, canggung, atau tidak enak hati. Secara tindakan, komunikasi asertif juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan komunikasi pasif (diam, memendam dan mengalah secara terus menerus) dan agresif (menekan, memaksakan kehendak, emosional). Contoh konkret komunikasi asertif di antaranya: “Saya keberatan kalau harus mengerjakan semua ini dalam waktu singkat karena saya sedang ada pekerjaan penting lain, apakah bisa saya dibantu dengan rekan kerja lainnya?”, “menurut pendapat saya, ada beberapa poin yang perlu dikaji lebih mendalam berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya, sehingga menghindari kesalahan/kegagalan yang berulang”, “Kondisi badan saya sedang tidak fit, apa boleh saya izin tidak menghadiri acara ini?”, “Saya merasa kewalahan ketika Anda sering mengubah deadline tugas mendadak. Saya harap kita bisa mendiskusikan perubahan deadline lebih awal agar saya bisa mengatur pekerjaan dengan lebih baik”.

cr: https://www.clipartmax.com

Manfaat komunikasi asertif

Penerapan komunikasi asertif oleh individu maupun organisasi memberikan berbagai manfaat yang signifikan. Perilaku asertif dapat menciptakan hubungan yang jujur, terbuka, dan saling menghargai antar rekan kerja, atasan, maupun bawahan. Selain itu, komunikasi yang jelas dan langsung membantu menghindari kesalahpahaman serta mencegah konflik berulang yang dapat mengganggu dinamika kerja. Lingkungan kerja yang didukung oleh komunikasi asertif juga cenderung lebih sehat secara psikologis, karena mampu mengurangi stres, meningkatkan kepercayaan diri pegawai, serta membentuk citra positif secara personal maupun profesional. Pada tingkat organisasi, hal ini berdampak langsung pada peningkatan kinerja dan produktivitas, sekaligus menciptakan suasana kerja yang kondusif dan mendukung kolaborasi. Dengan demikian, kemampuan berkomunikasi secara asertif menjadi aspek yang sangat penting dan perlu dikembangkan dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang sehat, harmonis, dan efektif.

 

Penulis: Sulistyo Widyanti
Unit: Direktorat Kompensasi ASN (BKN)

PENGEMBANGAN DIRI MELALUI PENYALURAN HOBI GUNA MENJAGA KESEHATAN MENTAL BAGI APARATUR SIPIL NEGARA

 Seorang ASN dituntut agar tetap produktif dan mampu memberikan pelayanan yang optimal. Sedangkan, pekerjaan di sektor ini sering kali menghadapi tekanan tinggi, baik dari kebijakan maupun tuntutan dari masyarakat, sehingga kadang memunculkan stress yang dapat berdampak pada kesehatan mental. Belum lagi pandangan negatif sebagian masyarakat yang menganggap ASN ke kantor hanya datang, absen, bersantai, lalu pulang. Hal ini menambah beban tekanan terhadap ASN dalam menjalani pekerjaan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi ASN untuk memiliki strategi dalam menjaga kesehatan mental agar tetap bisa bekerja dengan optimal.

Memahami pentingnya kesehatan mental memungkinkan ASN dapat mengelola stres dengan lebih baik. Stres biasanya bermula karena pegawai mengalami titik jenuh akibat terjebak pada rutinitas yang membuat mereka tidak berkembang. Sebagai individu, ASN perlu melakukan self-reflection dengan menginventarisasi hobi positif yang diminati selama hidupnya. Dengan seperti itu, ASN dapat mengaktualisasikan dirinya melalui hobi positif yang diminati dan menjadikannya sebagai habit atau kebiasaan.

Sumber: Kebutuhan Abraham Maslow, Umam, et al (2024)

Pada awalnya, membagi prioritas antara kebutuhan pribadi dan urusan keluarga mungkin terasa sulit. Tidak sedikit orang yang merasa bingung dalam menentukan skala prioritasnya. Namun sejatinya, mengaktualisasikan diri melalui hobi merupakan salah satu cara terbaik untuk tetap mengingat dan merawat diri sebagai manusia seutuhnya. Maslow menyebut bahwa self-actualization merupakan puncak hierarki kebutuhan manusia dalam upayanya meraih kepenuhan hidup untuk mencapai potensi penuh diri, mengembangkan diri, bahkan berkontribusi pada masyarakat.

Ragam Hobi yang Dapat Dilakukan Bagi ASN.

Hobi bukan sekadar kegiatan pengisi waktu luang, tetapi juga sarana pengembangan diri dan pemulihan emosi. Untuk ASN yang lebih suka kegiatan indoor, membaca buku dapat memperluas wawasan dan memberi inspirasi baru dalam berpikir. Menulis jurnal atau opini bisa menjadi penyaluran pikiran konstruktif, dan malah hal ini dapat menambah angka kredit bagi ASN terhadap kinerja organisasi. Sementara itu, aktivitas seperti memasak atau bermain musik bisa menjadi sarana ekspresi kreatif yang dapat memungkinkan ASN untuk tetap intim dengan sisi personalnya yang telah lama terlupakan. Bagi yang menyukai aktivitas kerajinan tangan seperti merajut, melukis, atau membuat scrapbook hobi ini dapat merangsang konsentrasi. Belajar hal baru secara daring maupun luring seperti bahasa asing, desain grafis, atau public speaking juga menjadi bentuk pengembangan diri yang sangat relevan dengan tuntutan zaman.

Kegiatan outdoor berbasis komunitas seperti bermain tenis, bulu tangkis, lari, bersepeda, yoga, atau exercises di gym sangat membantu menjaga kebugaran tubuh sekaligus menjaga berat badan tetap stabil, sehingga baju seragam tetap fit dengan ukuran badan dan bonusnya adalah tubuh menjadi sehat jasmani rohani. Aktivitas lain seperti fotografi alam atau menjelajahi lingkungan sekitar juga efektif untuk menyegarkan pikiran dan memperkuat koneksi diri dengan alam. Termasuk, berkebun menjadi cara yang menenangkan untuk berinteraksi dengan alam, yang secara tidak langsung turut menjaga keseimbangan diri yang terkenal dengan istilah back to nature.

Rangkaian hobi di atas merupakan beberapa contoh aktualisasi diri. Di luar itu, masih banyak jenis hobi lain yang bisa dilakukan, selama aktivitas tersebut positif dan berdampak baik bagi pengembangan diri, bahkan pada orang lain. Menjalani hobi secara teratur dan seimbang tidak hanya bermanfaat bagi pribadi ASN, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas kerja. Pegawai yang sehat secara mental cenderung lebih fokus, inovatif, dan mampu menghadapi tantangan dengan sikap yang positif. Karena itu, sudah saatnya hobi tidak lagi dipandang sebagai bentuk pelarian, melainkan sebagai bagian penting dari strategi menjaga kesejahteraan hidup pegawai pemerintah.

Menjadikan Hobi sebagai Sarana Pengembangan Diri dan Karier

Hobi bukan sekedar pengisi waktu luang, tetapi dapat menjadi sarana efektif untuk mengaktualisasikan diri. Banyak keterampilan penting yang berawal dari hobi justru berkontribusi besar dalam peningkatan kapasitas personal dan profesional. Dalam konteks ASN, hobi seperti menulis, public speaking, atau berkegiatan dalam komunitas dapat memperkuat kemampuan komunikasi, presentasi, dan rasa percaya diri yang semuanya sangat dibutuhkan dalam dunia birokrasi. Pengembangan kompetensi pun tidak harus selalu melalui pelatihan formal, melainkan bisa tumbuh dari aktivitas yang disenangi.

Selain meningkatkan keterampilan, hobi juga membuka peluang jejaring dan kolaborasi lintas instansi. Bergabung dalam komunitas atau menampilkan karya di media digital dapat memperluas koneksi serta menunjukkan sisi kreatif dan inisiatif pribadi. Lebih dari itu, hobi sering menjadi pintu untuk mengenali minat dan bakat tersembunyi yang belum tersalurkan dalam rutinitas kerja. Ketika dijalani secara konsisten dan reflektif, hobi dapat menjadi sumber energi positif, membentuk keahlian tambahan, dan bahkan membuka peluang pengembangan karier ke arah yang lebih luas, sehingga kesehatan mental dapat terkelola dengan tepat dan terjaga dengan baik.

Instansi dapat ikut berperan dalam mendukung kegiatan hobi para ASN. Bentuk dukungannya bisa beragam mulai dari menyediakan fasilitas, membentuk komunitas hobi di lingkungan kerja, hingga memberi ruang bagi pegawai untuk mengikuti aktivitas yang sesuai dengan minat mereka. Sudah saatnya ASN diberi kesempatan untuk menyalurkan hobinya, dukungan semacam ini merupakan wujud kepedulian instansi terhadap kesehatan mental dalam mewujudkan misi work life balance.

Penulis: Tri Andriyas, S.Pd., M.K.P.
Unit: Biro Sumber Daya Manusia dan Organisasi (BKN)

Membangun Ruang Aman: Strategi Mengatasi Budaya Diam di Birokrasi

 Dalam budaya Jepang, terdapat istilah chinmoku yang berarti “diam”. Diam sering dimaknai sebagai bentuk penghormatan, tanda kebijaksanaan, atau waktu untuk merenung sebelum bicara. Namun dalam lingkungan birokrasi, diam bisa bermakna berbeda. Diam bisa lahir dari rasa enggan untuk bicara, takut bertanya, atau keyakinan bahwa pendapat tidak akan didengar. Ada pula yang diam karena khawatir dianggap menentang atau kurang cakap. Jika dibiarkan berlarut, kebiasaan ini bisa menjadi pola yang menghambat perkembangan organisasi.

Fenomena ini dikenal sebagai organizational silence atau budaya diam, yang pertama kali dikemukakan oleh Morrison dan Milliken. Mereka menjelaskan bahwa budaya diam adalah kondisi ketika individu dalam organisasi cenderung menyimpan informasi penting atau tidak menyuarakan pendapat karena berbagai alasan. Diam dalam konteks ini bukan sekadar tidak berbicara, tetapi muncul dari keyakinan bahwa berbicara itu tidak aman, tidak berguna, atau bahkan berisiko.

Padahal, suara setiap individu dalam organisasi adalah aset penting. Ketika pegawai aktif menyampaikan ide, kritik, atau usulan, organisasi memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh, memperbaiki diri, dan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan. Maka, membangun budaya bicara bukan sekadar soal komunikasi, tetapi juga menciptakan iklim kepercayaan dan keberanian bersama.

Sumber ilustrasi: https://greatpeopleinside.com/speak-up-to-misconducts/

Menyadari Akar Budaya Diam

Budaya diam tidak terbentuk dalam ruang hampa. Ia memiliki akar historis dan struktural yang dalam. Salah satunya adalah warisan pemikiran Max Weber tentang birokrasi. Menurut Weber, birokrasi dipandang sebagai sistem yang efisien karena berbasis pada otoritas legal-rasional, hierarki, dan impersonalitas. Namun, ia juga mengingatkan bahwa rasionalisasi berlebihan dapat membentuk iron cage atau sangkar besi, yaitu situasi di mana individu terjebak dalam aturan dan prosedur yang kaku, hingga kehilangan ruang untuk berpikir kreatif dan menyuarakan pendapat.

Selain pengaruh struktur birokrasi, budaya paternalistik juga memperkuat munculnya budaya diam. Budaya paternalistik berakar pada relasi kekuasaan yang timpang, di mana pemimpin bertindak seperti “ayah” yang merasa paling tahu apa yang terbaik untuk bawahannya, sementara bawahan diharapkan untuk patuh dan tidak membantah. Di Indonesia, model ini berkembang menjadi istilah “bapakisme, yang membentuk relasi antara atasan dan bawahan yang tidak seimbang. 

Selama masa Orde Baru, pada saat itu presiden memposisikan dirinya sebagai sosok “bapak” yang harus dihormati dan tidak dibantah. Sementara masyarakat berperan sebagai “anak” yang harus patuh. Meskipun era itu telah berlalu, jejak bapakisme masih melekat kuat di birokrasi.

Mengapa Budaya Diam Bisa Terjadi?

Budaya diam muncul dari tiga faktor, yaitu: manajerial, organisasi, dan individu.

1.    Faktor Manajerial

Faktor manajerial yaitu melihat bagaimana cara pemimpin merespons suara pegawai. Ketika ide dan masukan tidak dihargai, pegawai bisa kehilangan semangat untuk berbicara. Selain itu, bila atasan memandang pegawai secara negatif, yang mempersepsikan pegawai sebagai pihak yang malas atau tidak loyal, maka hubungan kerja akan menjadi kaku dan tidak sehat. Padahal, dengan membangun budaya saling percaya dan memberi ruang diskusi yang aman, banyak potensi yang bisa dimunculkan.

2.    Faktor Organisasi

Struktur organisasi yang terlalu hierarkis, prosedural, dan tertutup dalam pengambilan keputusan juga bisa meredam suara pegawai. Namun, hal ini bisa diubah. Saat organisasi memberi ruang partisipasi lebih luas, keterbukaan akan tumbuh. Ketika pegawai merasa bahwa suara mereka berdampak, mereka akan lebih terlibat secara aktif. 

3.    Faktor Individu

Beberapa pegawai mungkin memilih diam karena takut konflik atau takut salah bicara. Tapi ketika organisasi menciptakan lingkungan psikologis yang aman, di mana kesalahan dianggap sebagai proses belajar, dan kritik diterima sebagai bagian dari perbaikan, rasa takut itu akan perlahan hilang. 

 

Membangun Ruang Aman

Mengubah budaya organisasi bukanlah hal mudah, terutama ketika budaya diam telah mengakar dalam birokrasi. Namun, perubahan itu mungkin dan sangat diperlukan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer saat ini adalah menciptakan iklim yang mendorong pegawai untuk berani bersuara. Budaya diam, jika dibiarkan, bisa merugikan organisasi secara perlahan karena menahan arus informasi penting, inovasi, dan pembelajaran. Transisi dari organisasi yang tertutup ke organisasi yang mendorong partisipasi membutuhkan sebuah transformasi yang bersifat revolusioner.

Ada tiga strategi yang dapat dilakukan organisasi untuk menumbuhkan budaya bersuara. Pertama, pimpinan perlu menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis, tempat di mana pegawai merasa didengar, dihargai, dan tidak takut dihakimi. Kedua, organisasi perlu menumbuhkan budaya keadilan prosedural, di mana keputusan dibuat secara transparan, melibatkan masukan dari pegawai, dan dilandasi oleh informasi yang akurat serta bebas dari bias. Ketiga, penting bagi organisasi untuk menyediakan saluran komunikasi yang aman, baik formal maupun informal. Sistem seperti kotak saran, forum rutin, atau juru bicara tim dapat menjadi jembatan bagi ide-ide yang mungkin tidak muncul dalam situasi formal.

Penutup

Membangun budaya bersuara di birokrasi bukan sekadar membuka ruang diskusi, melainkan menciptakan iklim yang aman dan adil bagi setiap orang untuk didengar. Ketika pegawai merasa aman secara psikologis–dimana ia tahu bahwa suaranya tidak akan ditertawakan, diabaikan, atau malah dikucilkan–maka gagasan, masukan bahkan kritik bisa muncul dengan semangat membangun.

Budaya seperti ini tidak tumbuh dari rasa takut, melainkan rasa percaya dan kesetaraan. Karena seringkali, ide-ide segar justru tidak muncul dari ruang rapat formal, melainkan dari obrolan santai seperti di warung kopi, tempat di mana tidak ada jarak atau sekat antara pimpinan dan bawahan. Inilah saatnya birokrasi tidak hanya menjadi tempat bekerja, tetapi juga ruang berkembang dan berdaya bagi semua.

Penulis: Rista Nur Farida
Unit: Biro Sumber Daya Manusia (BKN)

Selain Pro-Karier ASN, Redesain Reformasi Birokrasi Harus Mampu Wujudkan Asta Cita dan Berdampak Ke Masyarakat

 


[SIARAN PERS]

Nomor: 030/RILIS/BKN/XI/2025

Selain Pro-Karier ASN, Redesain Reformasi Birokrasi Harus Mampu Wujudkan Asta Cita dan Berdampak Ke Masyarakat

Dalam forum konsolidasi nasional seluruh pengelola manajemen ASN se-Indonesia, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Prof. Zudan mengajak seluruh elemen penggerak birokrasi, mulai dari lini Kementerian/Lembaga, instansi pemerintah daerah, dan para ASN untuk memastikan bahwa implementasi Asta Cita benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat. “Reformasi birokrasi harus bergeser dari yang bersifat administratif menuju yang bersifat substantif, yaitu reformasi yang benar-benar melindungi ASN, dan memudahkan urusan publik, serta memberikan pengalaman layanan yang membahagiakan,” ungkapnya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepegawaian Tahun 2025, Rabu (19/11/2025) di Jakarta.

Dengan jumlah lebih dari 5 juta ASN saat ini, Prof. Zudan menyebut bahwa Indonesia membutuhkan orkestrasi tata kelola kepegawaian yang kuat, adaptif, dan terintegrasi. Hal ini perlu diawali dengan desain reformasi birokrasi yang harus terus bergerak maju sebagaimana kemajuan di sektor lainnya. BKN memainkan peran sentral dalam mengorkestrasikan manajemen ASN agar Asta Cita dapat diwujudkan melalui peningkatan peran ASN yang memiliki KnowledgeAttitude, dan Competency. “Kita perlu mengubah cara pandang dari regulasi yang represif ke regulasi yang responsif, relevan, dan adaptif terhadap perubahan sosial maupun teknologi,” imbuhnya.

Profiling ASN: Fondasi Mobilitas Talenta Nasional

Untuk mendukung cita-cita besar ini, Prof. Zudan menegaskan berbagai kebijakan yang berpihak pada ASN. Hal ini dibuktikan dengan BKN telah merilis 9 (sembilan) kebijakan terbaru yang pro-karier ASN, dirancang untuk mendorong fleksibilitas karier, pengembangan berkelanjutan, dan peningkatan profesionalisme ASN. Diantaranya kemudahan pencantuman gelar akademik dan profesi, hingga proses kenaikan pangkat dan manajemen talenta.

Saat ini BKN tengah memfokuskan diri pada profiling ASN secara menyeluruh. Data kompetensi, latar pendidikan, rekam jejak, hingga potensi ASN diperkuat agar pemerintah memiliki rujukan akurat dalam penempatan dan mobilitas talenta. Upaya ini juga menjadi dasar kemudahan dalam penilaian dan pengembangan profesi ASN, sehingga kebijakan karier dapat berjalan lebih objektif dan berbasis data.

ASN Digital: Satu Data dan Satu Sistem

Untuk memperkuat ekosistem kepegawaian nasional, BKN juga telah menyediakan satu platform berbagi pakai dengan seluruh instansi melalui ASN Digital. Dengan hadirnya sistem terintegrasi ini, instansi pemerintah tidak perlu membangun platform terpisah. Seluruh data ASN dapat dikelola dalam satu sistem nasional untuk memastikan konsistensi data, efisiensi proses, percepatan layanan kepegawaian, dan kelancaran mobilitas talenta.

Ajakan kepada seluruh elemen birokrasi, Prof. Zudan menegaskan bahwa transformasi besar reformasi birokrasi merupakan kerja kolektif sehingga membutuhkan dukungan berbagai pihak, terutama dari seluruh birokrat sebagai desainer kebijakan, mulai dari Kementerian/Lembaga terkait bersama seluruh instansi pemerintah daerah, dan dukungan DPR RI. “Dengan kolaborasi yang kuat, redesain reformasi birokrasi dari administratif menjadi substantif akan mempercepat pencapaian Asta Cita sekaligus memastikan ASN semakin profesional, adaptif, dan relevan dalam melayani publik, tutupnya.

Rakornas Kepegawaian tahun ini sendiri dihadiri oleh seluruh pengelola kepegawaian instansi pusat dan daerah dengan menghadirkan sejumlah Menteri kabinet kerja Merah Putih. Melalui forum konsolidasi ini, BKN berkomitmen menjadi penggerak utama birokrasi yang responsif, memudahkan, dan membahagiakan bagi seluruh masyarakat.

Format pdf siaran pers ini dapat diunduh pada tautan berikut.

Sumber : bkn.go.id


Jumat, 12 Desember 2025

Pentingnya Literasi Finansial, Kesehatan, dan Perubahan Iklim dalam Pembelajaran

 



Kurikulum Merdeka memfokuskan pada muatan esensial yang relevan dengan tantangan isu terkini. 

Pentingnya literasi finansial, kesehatan, dan perubahan iklim dalam pembelajaran.


UNDUH PANDUAN


Sumber : kurikulum.kemdikdasmen,go.id

PANDUAN MATA PELAJARAN TAHUN 2025_BARU

 



Panduan Mata Pelajaran disusun sebagai acuan bagi pendidik dalam menerjemahkan Capaian Pembelajaran ke dalam praktek pembelajaran di kelas sekaligus merancang pembelajaran yang bermakna, mendalam, dan berpusat pada murid.


UNDUH PANDUAN MATA PELAJARAN


Sumber : kurikulum.kemdikdasmen.go.id