Setelah mengabdi selama 10 tahun, pada tahun 2021 lalu Ramli diangkat menjadi Kepala Sekolah di SDN 1 Karamat, Kab. Buol, Sulawesi Tengah.
Ramli merupakan Guru Penggerak Angkatan 3. Ia diberi amanah sebagai Kepala Sekolah ketika sedang mengikuti Pendidikan Guru Penggerak (PGP). Tanpa disangka, ia mendapatkan undangan untuk pelantikan kepala sekolah di kecamatan tetangga, yang berjarak kurang lebih 1 jam dari tempat tinggalnya. Selama kurang lebih 1 tahun bertugas di sana, ia ditarik kembali ke kecamatan tempat tinggal, SDN 01 Karamat.
“Saya punya keinginan untuk maju. Saya orang pertama di Kecamatan saya yang ikut PGP,” ungkapnya.
Ramli pertama kali mengetahui tentang Pendidikan Guru Penggerak (PGP) melalui media sosial. Saat mengikuti pendaftaran, ia mengaku belum ada gambaran sama sekali tentang program ini. Ketika proses pendidikan sudah dijalani, ia membuktikan sendiri bahwa program pendidikan ini punya banyak manfaat.
“Saya mendapatkan paradigma perubahan yang berkaitan dengan karakter. Dulu, pembelajaran berjalan tanpa program yang jelas dan setelah menerima pembekalan PGP semua sudah terstruktur, baik secara karakteristik, emosional, dan pendekatan spiritual,” ujarnya.
Ramli merasa sangat bersyukur bisa mengikuti program pendidikan ini. Ia bahkan berharap ke depan agar PGP tidak lagi melalui seleksi melainkan diberikan kepada ke seluruh guru di Indonesia.
“Karena saya yakin, dengan adanya PGP, perubahan paradigma pendidikan bisa berjalan dengan baik,” tegasnya.
Setelah mengikuti PGP, menurut Ramli, Guru Penggerak harus siap menjadi teladan. “Saya mendapat sorotan, apalagi di kecamatan saya, karena baru satu orang yang lolos. Perubahan pendidikan disandarkan kepada saya selaku lulusan Guru Penggerak,” katanya.
Banyak tantangan yang dihadapi Ramli saat mengikuti PGP. Ia baru menjalani PGP selama 3 bulan dan diangkat menjadi kepala sekolah di sekolah lain. Tantangan ketika menyampaikan program pengembangan sekolah, ia harus melakukan banyak pendekatan kolaborasi.
Apalagi, saat itu pelaksanaan pembelajaran di kelas masih menggunakan pola lama, kurikulum CBSH (Catat Buku Sampai Habis). Lalu Ramli mengajak guru-guru untuk melakukan coaching.
“Praktek coaching ini sangat sering saya manfaatkan untuk menemukan masalah yang dihadapi para guru dan kemudian mencari sendiri solusinya,” tuturnya.
Setelah lulus sebagai Guru Penggerak dan kemudian menjadi kepala sekolah, Ramli pun mencoba mendorong adanya inovasi. Beberapa di antaranya sudah dirancang.
“Saya sedang menggagas Jumanji (Jumat Mengaji) di setiap hari Jumat. Tidak ada kegiatan pembelajaran umum, tapi fokus pada pembelajaran keagamaan,” katanya. “Kemudian,” lanjut Ramli, “Sakti Sabar (Sabtu Kerja Bakti dan Sabtu Berolahraga). Ini merupakan program gotong royong antara siswa dan guru.”
Selain itu, Ramli juga sudah merencanakan program jangka panjang, yaitu Pojok Literasi. Ini bukan hanya untuk siswa, tapi juga untuk wali murid.
“Kebetulan di sekolah saya ada halte bus Trans Sulawesi. Biasanya, wali murid hanya menunggu bus di pinggir jalan. Saya ingin mereka masuk ke lingkungan sekolah dan membaca bahan bacaan tentang mendidik anak di Pojok Literasi yang sudah disediakan. Saya melihat pendidikan ini harus sinergi dan tidak akan berjalan baik kalau tidak ada kolaborasi,” ungkapnya.
Program Pojok Literasi yang dirancang Ramli tersebut tak terlepas dari pandangan masyarakat di tempatnya bahwa bahwa pendidikan hanya tanggung jawab guru dan bukan orangtua. Ia berupaya keras untuk mengubah pola pikir wali murid bahwa pendidikan untuk anak mesti bersifat kolaboratif antara guru dan wali murid.
Terkait penugasan lulusan Pendidikan Guru Penggerak sebagai kepala sekolah, Ramli mengaku sangat sangat setuju. Lulusan PGP tidak hanya dilatih terkait ilmu dan pengalaman, namun juga pembangunan karakter, yaitu melalui coaching, kematangan emosional, dan kepemimpinan pembelajaran.
“Saya yakin dan percaya akan ada perubahan yang terjadi oleh para Guru Penggerak,” demikian ia menegaskan.
Sumber : https://gtk.kemdikbud.go.id/